Rabu, 20 April 2011

Ironi Sastra Bugis yang Terkikis

Posted first on February 17, 2009
Eduardus Karel Dewanto
http://www.korantempo.com/

Kitab La Galigo memiliki panjang sekitar 300 ribu baris. Dua kali lebih panjang dibanding Kitab Mahabharata dan Ramayana dari India.
Singapura — Layar putih panggung perlahan menggulung naik, satu-satu orang berbusana tradisional Bugis berjalan seirama kesunyian memasuki pentas. Mereka mengusung beragam perkakas sehari-hari. Disusul dua orang berbalut kain biru sepanjang enam meter merayap melintas di bibir bagian depan panggung. Selama 15 menit prolog lakon sastra epik besar I La Galigo itu penuh kesenyapan.
Saat kesunyian magis kian menyihir penonton, mendadak dihentak musik tabuh mengiringi tiga pria berpakaian laskar Bugis. Mereka melintas sambil melompat-lompat. Di akhir pementasan, adegan itu kembali muncul. Namun, mereka hanya berjalan mengusung benda-benda dalam bayangan kosong. Sesudahnya, seorang pemeran I La Galigo merosot turun dari tangga hidrolik ke bawah panggung. Inilah awal dan akhir cerita.
Tak kurang dari 2.000 penonton yang memadati gedung teater megah Esplanade, Rafless Street, Singapura, Jumat (14/3) pekan lalu memberikan apresiasi spontan. Mereka terhenyak berdiri dengan gemuruh tepuk tangan menggema selama beberapa menit. Tampak ikut berdiri, Menko Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla bersama istri, 15 rombongan dari Jakarta. Juga dedengkot Teater Koma Nano Riantiarno bersama istri, aktris Christine Hakim, Ria Irawan, dan lainnya. Hadir beberapa pengusaha, tokoh pers Djafar Assegaf hingga ekonom Sadli.
Sungguh apresiasi hebat atas epik Bugis berlakon I La Galigo yang diusung arsitek teater kontemporer dunia, Robert Wilson. Ia berhasil mengangkat epik berumur ribuan tahun yang mulai terkikis di masyarakat Bugis. La Galigo merupakan sastra unik karena memiliki gejala khas konsisten, gaya bahasa dan alur cerita. “Epik ini sederhana dan alami, karenanya saya lebih menonjolkan kreativitas artis dengan memadukan gerakan, kata-kata, teknik lampu, musik, dan imajinasi,” kata Wilson.
Keberhasilan pentas perdana ini tak lepas dari dukungan 50 aktor seniman Indonesia. Dalam kerangka artistik bersentuhan teknologi, penari dari Sulawesi Selatan, Jawa, Bali, Sumatera, dan Papua membuat cerita menjadi hidup. Selepas tiga hari di Singapura, I La Galigo terbang ke Amsterdam, Barcelona, Lyon, Ravenna, Italia, dan New York.
I La Galigo sejatinya karya sastra Bugis kuno yang berisi tentang genesis orang Bugis dan filosofi kehidupan manusia. Menurut peneliti Belanda Roger Tol, kitab La Galigo memiliki panjang sekitar 300 ribu baris. Dua kali lebih panjang dibanding Mahabharata dan Ramayana serta sajak-sajak Homerus dari Yunani sepanjang 160-200 ribu baris. Peneliti La Galigo selama 25 tahun ini juga menilai gaya bahasanya sangat indah.
Sedikit dialog Robert Wilson membuka lakon ini dengan gaya tengok belakang. Awal cerita menampilkan seorang pria berpakaian Kerajaan Cina, duduk bersila membaca kitab I La Galigo yang ditulis dengan bahasa Lontar. Ia menampilkan kisah yang praktis berurutan, sejak cerita tentang kakek dan kemudian giliran ayah, dan terakhir tentang I La Galigo. Selama tiga jam tampak adegan-adegan yang terharmonisasi tarian dan musik tradisional, serta kilatan permainan cahaya. Dialog bisu di atas panggung dihidupkan 70 alat musik Bugis.
Tampak sekali Robert mengangkat teks-teks kuno berwujud puisi menjadi cerita epik sederhana. Ia ingin membawanya ke dunia masa kini yang jarang diketahui orang. Maka, ia meminimalkan dialog, yang dibawakan “dalang” pendeta bissu asli Puang Matoa Saidi. Dialog maupun cerita ringkas dalam bahasa Bugis yang dilantunkan. Untuk menuntun plot dalam bahasa Lontar halus, disediakan terjemahan bahasa Inggris di papan teks sisi kiri panggung.
Tari garapan Andi Ummu Tunru menguatkan La Galigo sebagai tradisi tua. Tari Pakarena dari Makassar, Pajoge dari Bone, Pajaga dari Luwu, Pegellu dari Toraja, dan Pamanca dari Gowa. Kostum garapan Joachim Herzog dengan warna mencolok menegaskan karakter para tokoh. Patoteque putih bersih, tokoh Batara Guru merah, tokoh Sawerigading kuning.
Kilatan permainan lampu mengganti warna-warna latar belakang cerdas mendukung penonjolan tokohnya. Sorotan snap shot menimbulkan efek tiga dimensi. Gemuruh musik perpaduan perkusi, sayatan rebab juga menyuguhkan suasana berbeda-beda.
Sebelum pementasan, Andi Ummu Tunru yang mengenakan gaun panjang cokelat kepada Koran Tempo mengatakan, penggarapan karya ini menjalani proses panjang. Mereka harus melakukan penelitian tentang kitab La Galigo selama tiga tahun. Begitu juga membuat seminar terbuka penggalian sastra La Galigo. Selepas itu, terbentuk kesepakatan menampilkannya berupa pementasan. “Persiapan pentas perdana di Singapura dilakukan selama dua minggu,” katanya.
Mereka berlatih tiga kali sepekan di Benteng Fort Rotterdam, Singapura. Sebelumnya, para seniman harus belajar Pamanca di Desa Paopao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Latihan selalu berlangsung pada pukul 23.00-04.00 Wita. Latihan ditutup dengan ritual maccera, yaitu memotong ayam sebagai pertanda syukur.
Cikal bakal pertunjukan ini ketika penari Restu Kusumaningrum, koordinator artistik produksi, bersama Rhoda Grauer, produser seni dan penulis naskah lakon ini, sepakat mewujudkannya menjadi seni pertunjukan. Bersama Rahayu Supanggah mereka membuat presentasi di studio Robert Wilson di New York, dan berhasil menggaet Change Performing Arts (Italia) sebagai sponsor.
Kitab La Galigo mulanya dikumpulkan Raja Paccana, Colliq Pujie, dari lembaran-lembaran daun lontar. Ia hidup pada 1812-1876. Statusnya sebagai Raja Tanete tidak menghalangi kerjanya. Saat itu, Kabupaten Barru masih terbagi empat kerajaan: Tanete, Balusu, Malluisetasi, dan Barru.
Naskah La Galigo tersebar di beberapa negara. Selain empat di Inggris dan beberapa naskah di Belanda, lima naskah La Galigo juga tersimpan di Library of Congress Washington DC, Amerika Serikat. Naskah-naskah tersebut, Bugis (1) War betw Two Rajahs, Bugis (2) Day of Judgement-fr. The Koran, Bugis (3) A Tale, Bugis (4) A Rajah’s courtship, Bugis (5) Marriage froms, etc.
Peneliti sastra Universitas Hasanuddin, Makassar, Nurhayati Rahman, menjelaskan, kitab asli La Galigo tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Naskah itu dibawa Dr. Benjamin Frederik Matthes sekitar 1800-an. Awalnya, Matthes dikirim ke Sulawesi Selatan oleh Nederlands Bijbelgenootschap untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Bugis dan Makassar. Pulang ke Belanda, ia membawa 25 naskah Sureq La Galigo.
Rencana pementasan La Galigo sempat menuai protes medio tahun lalu. Proyek lakon ini dinilai banyak mencangkokkan unsur-unsur luar Bugis. Padahal, unsur-unsur Bugis yang menjadi landasannya justru ditinggalkan. Para seniman Sulawesi Selatan berpandangan pementasan itu bisa membangun persepsi keliru tradisi dan syair kepahlawanan yang mengakibatkan jiwa La Galigo tak utuh. Para peneliti, ilmuwan, dan seniman yang terlibat sejak awal proyek La Galigo malah ditinggalkan.
Nurhayati menjelaskan, Rhoda Grauer dan Restu Kusumaningrum dari Bali Purnati Centre for The Art, tidak menghargai hak intelektual dan para peneliti La Galigo. Padahal, Rhoda Restu hanya sebagai penghubung dengan sutradara Robert Wilson. Konon, kontroversi ini yang membuat pementasan La Galigo tidak digelar di Tanah Air. Kontroversi tersebut ditepis Jusuf Kalla yang menyebut tidak tersedianya gedung representatif sebagai penyebab.
Peneliti La Galigo yang lain, Muhammad Salim, mengatakan tidak mungkin melakonkan utuh La Galigo. Sebab lebih panjang dari epos Mahabharata dan petualangan tokoh utamanya sebanding dengan kisah Ulysses dalam Odyssey karya Homer. Diambillah keputusan mengambil salah satu bagian terpenting: awal mula manusia di bumi.

Selasa, 19 April 2011

Sebuah Tulisan Tak Terduga


Hipnotis Musik dari Kalifornia

Cake baru membuat penonton berjingkrak di saat konser hampir berakhir.  Konsisten di panggung


KRIIINGG.... Sejenak hening berdetak dalam detik. Bunyi telepon berdering disambut besutan gitar synthesizer menghipnotis. Lalu, sebuah lirik dibarengi gebukan drum menghentak sunyi: /No phone, no phone/I just want to be alone today/no phone, no phone. Penonton pun berjingkrak-jingkrak bak gelombang. Aksi spontan jemari gitaris Cake, Xan McCurdy memetik dawai gitar kian memukau penonton. Lengkingan gitarnya cepat nan eksotis.

Inilah saat-saat Cake mampu merebut hati sekitar 1500 penonton di Tennis Indoor Senayan, Jakarta, Kamis malam pekan silam. Penonton berjingkrak seirama lagu bertajuk No Phone yang disuguhkan John McCrea, vokalis kelompok asal Kalifornia ini. Lagu ini bagi-orang-orang yang tak ingin terganggu dering telpon, kata McCrea yang mengaku inspirasi lagu itu berawal dari kejenuhannya menerima telepon 15-20 kali sehari. 

Selesai lagu itu, lagu andalan I Will Survive yang sempat melejit di papan tangga lagu dunia pada 1996, membuat penonton kian menggila. Tak habis-habisnya histeria mereka meletup-letup. Dan, Never There menutup aksi panggung Cake. McCrea dan kawan-kawan melambaikan tangan, lalu surut ke balik panggung.

Penonton puas? Tidak. We want more, we want more, begitulah mereka tak ingin pertunjukan berakhir dan bergeming di arena. McCrea rupanya bersimpati kembali ke panggung. Saya hargai kalian memilih pertunjukan ini, meski ada konser lain di dekat sini (Konser Kris Dayanti - red), katanya. Lagu Daria lalu menjadi bonus antusias penonton dan sepasang stik drum Pablo Ebadi dilempar ke arah penonton yang berebut meraihnya dengan antusias.

Respon penonton seperti di tiga lagu terakhir sejatinya sudah jadi harapan McCrea sejak lagu ketiga, Short Skirt/Long Jaket, disuguhkan. Ia bahkan sudah berusaha menggaet hati penonton lebih awal lagi dengan cara melepaskan jaket abu-abu yang membungkus kemeja bergaris-garis vertikal yang ia pakai. Terima kasih untuk suara-suara dari Jakarta, kata McCrea setelah penonton bersedia mengikuti lirik yang dicontohkannya.

Sayangnya, suasana kembali redup hingga setengah jam lebih pertunjukan berlangsung memasuki lagu kesembilan, Sheep to Heaven. McCrea terlihat frustrasi, meski sudah konsisten bermain di panggung. Padahal, ia sudah berusaha atraktif di panggung dengan memainkan gitar akustik dan alat semacam garpu tala. Tiupan terompet dan keyboard juga selalu terdengar dominan memanjakan penonton di setiap lagu.

Apa boleh buat, pentas Cake ini tak termasuk kategori sold out concert (konser yang tiketnya habis terjualred) yang bisa membuat senyum promotor Java Musikindo yang mendatangkan mereka ke sini. Gedung berkapasitas 4000 pengunjung itu tak penuh. Sisi tribun hanya diduduki puluhan penonton. Sementara di depan panggung hanya tiga perempat yang terisi. Setting panggung pentas Cake berukuran 17 x 6 meter juga sangat sederhana. Yang ada hanya permainan tiga lampu sorot dan sebuah bola kaca di atas panggung. Sementara sound system juga berkekuatan tak lebih dari 20 ribu watt. Soundnya kayaknya kurang nendang ya, kata Mone, 18 tahun, penonton asal Kupang kepada Tempo. Namun Mone tetap meras puas karena memang menyukai lagu-lagu Cake yang nyeleneh. Bukan easy listening, tapi bisa dinikmati.

Beda lagi dengan Raisa, 17 tahun, pelajar SMU Taman Tirta Jakarta Selatan dan Mareyke Rika, 28 tahun. Baik Raisa maupun Rika mengakui respon penonton sangat kurang. Mereka melihat seharusnya penonton bisa bergoyang pada beberapa lagu-lagu. Saya kira kalau penonton memberi respon, bisa lebih hidup, kata Raisa yang sudah mengenal lagu-lagu Cake ketika di bangku SMP. Lagu I Will Survive adalah lagu favoritnya.
 
Di kalangan Artis, rupanya banyak juga yang datang. Ada Andi /rif, Sigit (Base Jam), Puput Melati dan sejumlah artis lainnya. Andi /rif bahkan sudah jauh hari menjadwalkan waktunya untuk konser ini. Saya senang  No Phone. Cepat dan enak di dengar, katanya. 

Eduardus Karel Dewanto
*Pertama menulis musik, mendapat penghargaan dari Java Musikindo.

Senin, 18 April 2011

Follower Jejak Sepasang Kaki

Semburat mentari pagi mencubit kulit....




Kehangatan kurasakan selepas bangun pagi. Kutatap mentari berkilau menyemburatkan cahayanya ke arah manusia. Harapan! Ya... Sinar itu telah menampar mereka yang bangun di pagi hari, untuk terus mengawali hari dengan penuh kehangatan. Kehangatan untuk melawan rasa takut, berani menghadapi tantangan, dan menepis semua pergumulan hidup yang miring.

Inilah hari yang menghidupkanku untuk mengawalinya lagi. Mengawali hidup dengan kembali membuat coretan, goresan dan torehan tulisan dalam sebuah blog, yang telah sekian lama terlupakan. Entah ke mana lahan dan ruang maya silam itu. Kini kehangatan itu telah membuhul kembali. Rasa kangen untuk kembali menulis, setelah sekian tahun kebiasaan itu tersisihkan.

Kini, aku akan menapakkan kaki, dan menarikan jemar-jemari tanganku yang mulai kaku. Apapun yang kulihat dan apapun yang kurasakan.  Satu yang menjadi pemanduku.... Jejak Sepasang kaki...  untuk menyampaikan Kebenaran...




Dan, akulah Follower Jejak Sepasang Kaki itu....





Jakarta, 18 April 2011



Eduardus Karel Dewanto
twitter: @ekade_wa  facebook: ekade_wa@yahoo.com 

Antara T-(ambang) dan T-(NI)

Bentrok TNI-Warga tidak sepatutnya terjadi. Kisruh berkepanjangan merupakan pola sistematis peninggalan masa lalu, yang dibiarkan atau abuse. Seandainya memang masalah sengketa itu diselesaikan secara hukum dari awal, tentu meminimalkan konflik. Tapi ada yang menarik di balik itu. Sosok seorang peneliti UI yang mempelajari sengketa tersebut, dan menemukan adanya tambanh timah di sana. Apakah dibalik tambang ini pemicu konflik, tentara yang belakangan kantongnya ompong?

Minggu, 17 April 2011

Radikalisasi Tunggal Cirebon?

Sepenggal diskusi menarik dalam sebuah obrolan. Ini terkait dengan pengeboman di Cirebon. Dalam obrolan itu terlontar pertanyaan: apakah Pelaku bom bunuh diri itu tunggal? Artinya tidak melibatkan sebuah jaringan. Bila benar, begitu mengerikannya negeri ini, ketika seseorang sudah mulai melakukan aksi "pemberontakan" dan "merakit" bom sendiri. Pengawasan terhadap radikalisasi menyimpang, patut menjadi perhatian bersama, dan bukan lagi tugas polisi semata. Tapi itu juga masih anasir. Kebenaran, entahlah!