Selasa, 25 Oktober 2011

Menangkal Pikiran Konspirasi Dangkal

Profesional dan Tulus. Itulah yang selalu penting menjadi landasan berbuat sesuatu terkait profesi. Pemikiran dengan landasan berpikir jurnalistik penting untuk menyingkirkan kepentingan dengki. Tak boleh ada sebersitpun niat untuk memusuhi atau menolak keberadaan sesosok penggagas karya. Tapi rupanya orang punya pemikiran lain. Segala argumen yang teruntuhkan oleh dalil-dalil dan nilai-nilai jurnalistik justru dianggap menjadi tembok tebal. Tembok yang dianggap sengaja dibangun untuk menghalangi segala pemikiran dan ide. Tidak boleh sedikitpun terbersit dengki, mas…..

Sepenggal gagasan ataupun ide untuk sebuah karya jurnalistik, sepatutnya punya news judgment yang kuat. Berdiskusi dalam ide dan gagasan merupakan jalan uji kelayakan. Berdebat dan berbeda pendapat tentu merupakan bagian dari pertarungan gagasan tersebut. Ketika gagasan itu runtuh dalam perdebatan dan tidak mampu dipertahankan, kita harus legowo. Bisa saja, kejadian ini akan terus berulang. Inilah bagian dari menguji kesahihan dan kemampuan seseorang untuk menawarkan sebuah karya berkualitas. Bila berkali-kali gagasan itu gagal, dan mudah diruntuhkan, sepatutnya mencari tahu dengan melakukan refleksi diri. Bukan kemudian ketika gagal dan selalu ditampik, lantas memiliki pemikiran konspiratif: Tembok tebal itu seolah sengaja dibangun untuk menangkal gagasan orang lain.

Kualitas akan teruji. Jam terbang dan bergulirnya roda serta berputarnya waktu akan menjawabnya. Mata orang tidak terpejam, ketika melihat sesuatu yang indah dan memang punya kualitas untuk membangkitkan hidup tetap berdenyut. Beda halnya, bila melihat sesuatu yang selalu buruk dan kuyu layu. Artinya, tak mampu bertahan untuk menjaga diri tetap berdiri tegak dengan tengadah. Orang akan melihat sesuatu dari luarnya lebih dulu. Isinya akan dilihat bila orang sudah tertarik dari kemasan. Bila kemasan dan kualitas sudah terlihat dari luar, orang akan merasa yakin kualitas isinya. Dan, karya yang akan membuktikannya. Bukan omongan dan pemikiran konspirasi. 

Tulisan ini terlahir, setelah sebuah peristiwa terselubung tercetus dalam sebuah pertemuan. Bekerja dan berkarya tidak akan pernah menumbuhkan sebuah kualitas dan kreatifitas bila selalu berpikir konspiratif. Capek!! Melelahkan!! Pikiran-pikiran yang tidak produktif tak akan membantu seseorang untuk menunjukkan sebuah karya dan kualitas pada dirinya. Buat apa kita berlelah dan bermandi peluh hanya untuk sebuah tindakan yang sia-sia. Pemikiran semacam itu justru akan menjerumuskan seseorang pada bom waktu. Suatu ketika, kita tak akan mampu lagi berpikiran konspirati, dan saat itulah denyut nadi kita berhenti, tak mampu meneruskan kehidupan yang penuh naïf.

Marilah kita Menangkal Pikiran Konspirasi Dangkal… Bangunlah Pikiran Bersih dan Jernih untuk berkarya lebih indah dan berkualitas….

Malam telah larut, membuai pikiranku lebih ringan untuk beristirahat.. Esok hari karya telah menanti…

Jumat, 15 Juli 2011

Bertahan dengan Batang Gewang

26 Juni 2006
Kelaparan

Bertahan dengan Batang Gewang

Matahari menyengat ubun-ubun Laurensius Bewat yang memanggul tiga balok batang pohon. Warga Desa Rubit, Kewapante, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, ini baru pulang dari hutan di kaki Gunung Egon. Dia tampak lelah setelah tiga jam mengais batang pohon gewang untuk bahan tepung putak. Setiba di rumah, lelaki 25 tahun ini tak segera beristirahat. Dia membersihkan batang-batang itu, lalu menjemurnya di halaman.
Bahan putak itu baru dientas esok hari oleh istrinya, Agustina, 23 tahun. Batangnya yang kering dicincang menjadi setebal tempe kedelai, lalu ditumbuk hingga berserat kasar mirip sabut kelapa. Serat ini dijemur lagi agar ke-ring betul, kemudian ditumbuk kembali- hingga muncul butiran tepung seukur-an gula putih. Tepung itu disaring lagi sampai halus kecokelatan.
Sore harinya, Agustina siap mengolah-nya jadi makanan. Tepung kecokelat-an itu dia masak dengan santan dan gula merah. Hasilnya dua baskom bubur- putak, cukup untuk makan dua hari bersama keluarganya. Pasangan ini ba-ru memiliki satu anak, Ricky Ricardus yang berusia 2,5 tahun. "Satu piring bubur mampu menahan lapar selama empat sampai lima jam," kata Agustina kepada Tempo pekan lalu.
Itulah kegiatan yang sehari-hari dilakukan Laurensius dan istrinya. Sebenarnya, makanan dari tepung putak sudah tiga dasawarsa tak dikonsumsi warga Sikka. Warga pernah mengkonsumsinya pada 1965 sampai 1972 ketika terjadi paceklik. Setelah itu putak lebih dikenal sebagai makanan ternak. "Seka-rang, kami terpaksa memakan putak lagi," kata Laurensius.
Warga Rubit menyantap putak sejak dua bulan lalu karena tak mampu membeli beras dan jagung. Kocek mereka menipis. Pertanian kakao (bahan pembuat permen cokelat) tak mampu menjadi mesin duit lagi. Satu-satunya sumber pendapatan utama mereka itu diserang hama Helopelthis Sp dan jamur upas.
Akhirnya, warga mengolah batang po-hon gewang, sejenis palem, menjadi makanan alternatif. Mereka merasa beruntung telah mematuhi petuah leluhur tentang tanaman itu. "Setiap ada pembabatan hutan untuk kebun, orang tua kami melarang menebas pohon gewang karena bermanfaat bagi manusia atau ternak," kata Laurensius.
Desa Rubit adalah satu dari 76 desa pada sembilan kecamatan di Kabupaten- Sikka. Dibanding dengan sejumlah desa lain yang juga mengalami kesulit-an ekonomi, kondisi Desa Rubit memang paling- parah. Desa berpenduduk 1.200 jiwa ini sebenarnya berada di wilayah subur. Hujan saban hari mengguyur deras, tak ada tanda kekeringan. Tapi hama rupanya menggerogoti pertanian di timur Kota Maumere itu. Pohon-pohon kakao, kelapa, alpukat, dan nangka jadi mandul tak berbuah.
Menurut Petrus Naran, seorang peta-ni kakao di desa itu, musim paceklik kali ini sungguh berat. "Kami kesulitan uang untuk membeli makanan pokok," kata le-laki 42 tahun ini. Warga tidak bisa me-nik-mati kebun jagung yang ditanamnya ka-rena telah hancur dilalap hujan. Me-re-ka juga terancam kelaparan lantaran tidak mendapat uang dari berkebun kakao.
Ketika kebun kakaonya belum -terse-rang- hama, Petrus bisa memperoleh penghasilan bersih Rp 15 juta hingga - Rp 30 juta dalam sekali panen atau se-tiap- tiga bulan. Dia memiliki ratusan po-hon kakao. Untuk satu pohon kakao, Petrus bisa menjualnya lebih dari Rp 200 ri-bu.
Warga yang lain selama ini juga bisa hidup sejahtera dengan berkebun kakao. Meski tinggal di lereng Gunung Egon, tak ada warga yang hidup di rumah ber-atap daun kelapa, dinding bambu, dan lantai tanah. Rumah mereka umumnya sudah terbuat dari tembok semipermanen dan berlantai semen. Radio dan televisi bukan barang mewah bagi me-reka. Bahkan ada warga yang telah memiliki antena parabola dan mobil.
Setelah paceklik datang, penduduk di sana memakan apa saja untuk bertahan- hidup. Selain putak, ada pula yang meng-konsumsi ubi-ubian liar di hutan. Geraldus, 10 tahun, dan Martha Nuge, 32 tahun, memilih makanan itu ketimbang putak. Dua warga Rubit ini tak doyan putak yang berserat keras. "Kami terpaksa mengkonsumsi ubi dan kacang hutan," kata Martha, ibu rumah tangga.
Kebun-kebun kakao mulai terserang ha-ma sejak tiga tahun silam. Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Sikka, Kornelius Nggala, menuding pemerintah- tidak tanggap. Seharusnya pencegahan bisa dilakukan dengan menyokong bi-bit baru dan pupuk. Waktu itu, dia sudah mengusulkan anggaran Rp 20 miliar, tapi tidak disetujui.
Kornelius mencatat bencana ini cukup- parah. Tanaman kakao yang gagal dipanen mencapai hampir 10 ribu hektare. Sebanyak 10 ribu atau 5,3 juta pohon lainnya dinyatakan rusak. Ini membikin 35 ribu atau 60 persen warga Sikka kesulitan membeli beras karena kocek menipis. "Mereka terancam kelaparan," kata Kornelius kepada Tempo. Pemulihan lahan kakao tidaklah gampang. Setidaknya butuh waktu tiga tahun.
Wakil Bupati Sikka Yoseph Ansar Re-ra mengakui tanaman Kakao yang ber-umur 26 sampai 35 tahun rentan ter-se-rang hama. Tapi dia menolak jika pemerintah dituding tidak tanggap dan me-nyebabkan kerawanan pangan. Dia me-ngatakan, pemerintah sudah meng-upa-yakan pengendalian dengan me-nyemprotkan insektisida. "Tapi hasilnya tidak maksimal," kata Yoseph.
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie telah mengi-rim tim ke Sikka, dua pekan lalu. Tim ini kemudian menyimpulkan tak ada bencana kelaparan. Yang ada baru indikasi rawan pangan. "Ini akibat gagal panen kakao yang disebabkan perubahan cuaca periode tanam 2004/2005," kata ketua tim peninjau, Bintang Susmanto.
Kini mulai ada laporan warga yang terganggu pencernaannya karena ma-kan- putak. Para ahli gizi juga meragu-kan- kandungan gizi makanan ini. "Ka-mi sedang meneliti tepung putak di Kupang," kata Kepala Dinas Kesehatan Sikka, Wera Damianus. Pusat Penelitian Tanam-an Kelapa dan Kakao di Jember, Jawa Timur, turut menelaah. Pemerintah lalu meminta warga berhenti mengkonsumsi putak karena belum ada hasil penelitian hingga pekan lalu.
Pemerintah pusat sudah menyalurkan- beras bantuan dari gudang Badan Urus-an- Logistik Maumere. Ada lagi bantuan beras untuk orang miskin sebanyak 3.565 ton, bantuan 9.200 ton dari Lembaga Program Pangan Dunia dan 1.000 ton dari Departemen Sosial.
Masyarakat sedikit lega bisa kembali makan nasi untuk sementara ini. Tapi bagaimanapun, bantuan itu terbatas jumlahnya, cuma dipatok 400 gram per orang untuk satu hari. "Kami akan mengkonsumsi putak lagi bila bantuan habis, " kata Laurensius Bewant.
Eduardus Karel Dewanto dan Jems De Fortuna (Maumere)

Rabu, 13 Juli 2011

Aral Menghalang di Calang

 
DAMAI telah bersemai di Nanggroe Aceh Darussalam. Tapi, seruas jalan di Aceh Jaya itu tetap saja bak medan perang. Potongan kayu dan besi berpacakan di jalan. Kawat duri bergulungan. Penduduk Desa Kuala hingga Medangghen bersiaga laiknya gawat darurat.
Penduduk di jalan yang menghubungkan Banda Aceh dan Calang, ibu kota Aceh Jaya, itu sebetulnya tak sedang berperang. Mereka hanya memblokade jalan, mengusir semua mobil yang hendak melewati jalan di pesisir pantai itu. Para penduduk menuntut ganti rugi tanah mereka yang dipakai membangun jalan itu, beberapa saat setelah tsunami menggulung Aceh pada akhir Desember 2004.
Itulah jalan darurat yang dibuat Tentara Nasional Indonesia karena jalan lama musnah disantap ombak. Tentara membabat kebun produktif di tepi barat Desa Leupung hingga Calang. Belakangan, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh ternyata memutuskan membuat jalan baru yang letaknya 200 meter dari pantai. Para pemilik tanah di jalur darurat itu pun memprotes. "Kalau pemilik tanah yang kena jalur baru diganti, kenapa kami tidak?" kata Sjafrie, 26 tahun, warga Medangghen.
Pada akhir November lalu, penduduk menghadang mobil Bupati Aceh Jaya, Basri Emka. Sang Bupati turun dari mobil, mencabuti kayu dan kawat yang mengaral. Penduduk bergeming, tetap menutup jalan. Bupati akhirnya menyerah. Ia membuat pernyataan bersedia membayar sewa tanah warga. Ternyata janji itu hampa belaka.
Ketika wartawan Tempo hendak melintasi jalur ini, Jumat dua pekan lalu, blokade belum dibuka. Setelah empat jam berunding, Tempo akhirnya diizinkan lewat. Itu pun setelah Jasmine, Kepala Dusun Bahagia, Kuala, membantu menjelaskan kepada penduduk.
Ada sekitar 20 pos blokade di sepanjang jalur Banda Aceh-Calang. Di setiap pos, pengguna jalan dimintai duit. Besarnya bervariasi, antara Rp 5.000 dan Rp 30.000.
Di beberapa desa, blokade bahkan dibuat permanen di tengah jalan. Akibatnya, truk dan mobil kecil yang sudah telanjur melintas ke wilayah ini terjebak. Mereka pun segan balik arah karena kondisi jalan yang buruk. Muzamin, 22 tahun, sopir truk yang terjebak, misalnya, mengaku sudah empat hari tidur di Medangghen.
Masalah tanah itu mengganggu proses pemulihan Calang, yang runtuh dilumat tsunami dua tahun silam. Sebab, inilah jalur terpendek menuju Banda Aceh. Jalur lain umumnya tiga kali lebih jauh. Misalnya, rute Geumpang-Meulaboh-Banda Aceh.
"Masalah tanah ini harus segera diselesaikan agar kehidupan Calang jalan lagi," kata Teuku Hamdani, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh Jaya. Di sepanjang jalan menuju Calang, hanya di satu-dua lokasi yang sudah dibangun rumah permanen. Sebagian besar penduduk masih tinggal di barak dan rumah penampungan sementara. Di Calang, baru 4.000 rumah yang sudah dibangun dari rencana semula 14 ribu rumah.
Ada sedikitnya lima barak yang ditinggali warga. Diperkirakan tiap barak meliputi 24 kamar, untuk hunian 50 keluarga. Pembangunan kembali fasilitas-fasilitas pemerintahan juga belum jalan. Kondisi memprihatinkan terlihat jelas di kantor bupati dan DPRD. Dua kantor yang menjadi fondasi pemerintahan Aceh Jaya di Calang itu jauh dari kelayakan. Berdiri di barat Kota Calang, kantor itu hanya berdinding papan dan beratap seng. DPRD Calang bahkan memakai bekas gudang bantuan logistik sebagai kantor.
Calang sangat kesulitan anggaran untuk membangun infrastruktur baru. Pada saat bencana mengoyak Calang, menurut Hamdani, dua kantor itu sebenarnya sedang dalam tahap penyelesaian. Sekitar 80 persen bangunan sudah berdiri.
Tengok juga urusan pembangunan jalan perkotaan dan pedesaan di Calang. Belum seluruhnya dikeraskan dan dilapisi aspal, kecuali di kawasan kantor pemerintahan. Jalan ke permukiman penduduk masih berupa tanah yang dikeraskan. Becek dan berlumpur bila hujan datang.
Di sisi Desa Krueng Sabee, ada jembatan kayu bantuan pada masa tanggap darurat, yang kini telah rusak. Jembatan di atas Sungai Krueng Sabee itu berbahaya dilintasi motor, bahkan pejalan kaki. Kayu-kayunya lapuk dan patah tercelup sungai. Dulunya, titian itu menggantikan jembatan beton yang ditelan tsunami. "Karena rusak, kami keluar dari desa ke kota Calang hanya dua minggu sekali," kata Mardiyah, guru sekolah dasar di desa itu.
Mardiyah sulit mengatur pelajaran anak didiknya. Satu-satunya jalan darat penghubung lima dusun di Krueng Sabee dengan Calang tidak tersentuh pembangunan. Memang, kata Mardiyah, rusaknya jembatan tidak membuat warga sulit mencukupi kebutuhan pokok. Mereka masih bisa makan sayuran dan ikan yang mudah diambil dari laut yang mengitari desa itu.
Koordinator Pembangunan Aceh Periode Tahun Kedua, Heru Prasetyo, tak menampik kelambanan di Calang. Pembangunan terhambat karena masalah jalan, yang direncanakan BRR dan USAID selesai tahun depan, ternyata belum kelar. Padahal, jalur Banda Aceh hingga Calang kunci utama lalu-lintas logistik.
Eduardus Karel Dewanto (Calang), Maimun Saleh (Banda Aceh)

Dari Reruntuhan Tanah Runtuh

Poso, 06 November 2006

Dari Reruntuhan Tanah Runtuh

Pada mulanya Tanah Runtuh adalah nama sebuah kampung santri di Desa Gebang Rejo, Poso. Sekarang polisi memakainya sebagai identitas kelompok yang dituding melakukan mutilasi, penembakan, dan aksi teror.
Itulah kelompok Tanah Runtuh. Polisi menuduh kelompok ini bertanggung jawab memantik petaka berdarah di malam takbiran lalu di Gebang Rejo. Tudingan itu tentu saja disangkal para tetua agama setempat. Namun, polisi kukuh. Senin pekan lalu, ditebarlah nama serta foto para anggota kelompok ini. "Jumlahnya 29 orang," kata juru bicara Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Ajun Komisaris Besar Muhammad Kilat.
Tidak semuanya anggota kelompok Tanah Runtuh. Sebagian berasal dari kelompok Mujahidin Kayamanya. Namun, berasal dari kelompok mana pun, kata polisi, mereka dibuhul oleh satu nama: Hasanuddin.
Pria ini adalah tersangka kasus mutilasi tiga siswi Sekolah Menengah Umum Kristen di Poso, Oktober 2005. Ia dan empat anggotanya sudah dibekuk polisi pada 25 Maret lalu di Palu dan akan segera disidangkan di Jakarta.
Jaringan Hasanuddin, menurut Kilat, bertanggung jawab atas berbagai kekerasan dan teror di seantero Poso. Kelompok Tanah Runtuh, misalnya, terlibat kasus mutilasi, penembakan Pendeta Susianti Tinulele serta jaksa Pengadilan Negeri Palu, Ferry Silalahi. Kelompok ini juga dituding menembak Pendeta Irianto Kongkoli, Sekretaris Umum Gereja Kristen Sulawesi Tengah, pada 16 Oktober. "Mereka punya senjata otomatis dan bisa merakit bom," ujar Kilat.
Masih kata polisi, dalam aksinya kelompok Tanah Runtuh mendapat pasokan dana dari Mujahidin Kayamanya. Kelompok ini menggalang dana dengan cara merampok. Dalam tiga tahun terakhir mereka diduga merampok tiga kali di tempat berbeda.
Cerita lebih lengkap didapat dari Nassir Abbas, bekas Mantiqi III Jemaah Islamiyah Sulawesi Tengah. Menurut dia, dua kelompok itu sejatinya binaan Jemaah Islamiyah. JI berada di Poso sejak Juli 2000, setahun setelah warga Kristen dan Islam mulai baku bunuh.
Ke Tanah Runtuh barisan Jemaah Islamiyah datang, mendiami kampung muslim yang ditinggal mengungsi penghuninya. Di sana mereka memberikan pelatihan militer dan berdakwah kepada anak-anak muda muslim. Mereka kemudian dibawa ke Poso. Setiap kali, 40 orang diberangkatkan. Pengikutnya meluas ke desa-desa lain.
Damai singgah sebentar di Poso setelah Perjanjian Malino 21 Desember 2001. Namun, gelombang kedatangan anggota JI masih berlanjut, termasuk Hasanuddin yang datang setahun kemudian. Nassir-waktu itu dia komandan JI wilayah Sulawesi Tengah-menunjuk pria Jawa ini untuk memimpin Poso. "Saya pilih dia untuk memulihkan ekonomi Poso."
Lima bulan kemudian, pada April 2003, Nassir ditangkap polisi dengan tuduhan terorisme. Damai pergi lagi dari Poso. Hasanuddin, ujar Nassir, beraksi melakukan pengeboman dan pembunuhan. Perjanjian Malino yang diperbarui pada 2004 tak ampuh membujuknya. Menurut Nassir, "Hasanuddin tidak puas dengan Deklarasi Malino."
Pembela Hasanuddin, Achmad Michdan, membenarkan kliennya tidak puas dengan Deklarasi Malino. Anggota Tim Pengacara Muslim itu mengatakan, aksi oleh kliennya merupakan protes atas penganaktirian muslim Poso, termasuk dalam pengusutan kasus-kasus kerusuhan di wilayah itu.
Pengacara muslim lainnya, Tadjwin Ibrahim, menyatakan laskar Mujahidin sudah bubar setelah Deklarasi Malino. Bila ada yang merampok dan menodong, itu bukan langkah pengumpulan dana untuk kelompok. Itu, ujarnya, "Tindakan individu karena kebutuhan ekonomi."
Eduardus Karel Dewanto dan Darlis Muhammad (Palu)

Sabtu, 07 Mei 2011

Kritik Anda adalah Kue Anda

Ditulis oleh: Anne Ahira untuk Manusia 

Manusia,

"Anda tidak berhak dipuji kalau tidak bisa menerima kritikan."  -- Halle Berry, 2005

Itulah kalimat dahsyat yang disampaikan Halle Berry, artis peraih Oscar melalui film James Bond 'Die Another Day' di tahun 2004 ketika mendapat piala Razzie Award.

Razzie Award adalah penghargaan yang diberikan kepada mereka karena aktingnya dinilai buruk. Label pemain terburuk ini didapatkan Halle setelah memainkan perannya pada film 'Cat Woman'.

Ia adalah orang yang pertama kali langsung datang ke tempat pemberian penghargaan tersebut. Tidak ada Aktor dan Artis lain sebelumnya, yang sanggup datang dan hanya menyampaikan pesannya melalui video.

Sambutannya sungguh menarik: "Saya menerima penghargaan ini dengan tulus. Saya menganggap ini sebagai kritik bagi saya untuk tampil lebih baik di film-film saya berikutnya. Saya masih ingat pesan ibu saya bahwa... 'Kamu tidak berhak dipuji kalau kamu tidak bisa menerima kritikan'."

Tepukan tangan sambil berdiri sebagai bentuk ketakjuban dari para hadirin sangat memeriahkan malam itu. Ya, sangat sedikit orang yang sanggup menerima kritikan seperti Halle.

Nah, sekarang, apa arti kritik bagi Manusia? Apakah itu musibah buruk? Seperti bencana yang tidak terduga, atau... simbol kehancuran diri? Adakah yang bisa menganggap kritik layaknya ia menerima pujian?

Kritik memiliki banyak bentuk...

Kritik bisa berupa nasehat, obrolan, sindiran, guyonan, hingga cacian pedas. Wajar saja jika setiap orang tidak suka akan kritik.

Bagaimanapun, akan lebih menyenangkan jika kita berlaku dan tampil sempurna, memuaskan semua orang dan mendapatkan pujian.

Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa kita bisa aman dari kritik? Tokh kita hanyalah manusia dengan segala keterbatasannya. Dan nyatanya, di dunia ini lebih banyak orang yang suka mengkritik, daripada dikritik. :-)

Kalau Manusia suka sepak bola, pasti sering mengamati para komentator dalam mengeluarkan pernyataan pedasnya. Padahal belum tentu kepandaian mereka dalam mengkritik orang lain sebanding dengan kemampuannya jika disuruh memainkan bola sendiri di lapangan.

Belum lagi para pakar dan pengamat politik, ekonomi, maupun sosial. Mereka ramai-ramai berkomentar kepada publik, seolah pernyataan merekalah yang paling benar. :-)

Namun bukan itu permasalahannya!

Pertanyaannya sekarang adalah... seandainya Manusia mendapatkan kritikan, yang sakitnya melebihi tamparan, apa yang harus Manusia lakukan?

Jawabannya adalah... => Nikmatilah setiap kritikan layaknya kue kegemaran kita!

Mungkinkah? Mengapa tidak! :-) 


Kita mempunyai wewenang penuh untuk mengontrol perasaan kita.
====
Berikut tips untuk Manusia saat menghadapi kritik:

1. Ubah Paradigma Manusia Terhadap Kritik
Manusia, tidak sedikit orang yang jatuh hanya gara-gara kritik, meski tidak semua kritik itu benar dan perlu ditanggapi.
Padahal, kritik menunjukkan adanya yang *masih peduli* kepada kita.

Coba perhatikan perusahaan-perusahaan besar yang harus mengirimkan berbagai survey untuk mengetahui kelemahannya. Bayangkan jika Manusia harus melakukan hal yang sama, mengeluarkan banyak uang hanya untuk mengetahui kekurangan Manusia! 

Kritik merupakan kesempatan untuk koreksi diri. Tentu saja akan menyenangkan jika mengetahui secara langsung kekurangan kita, daripada sekedar menerima dampaknya, seperti dikucilkan misalnya.

2. Cari tahu sudut pandang si pengkritik
Tidak ada salahnya mencari tahu detil kritik yang disampaikan. Manusia bisa belajar dari mereka dan melakukan koreksi terhadap diri Manusia. Bisa jadi kritik yang disampaikan benar adanya.

Jika perlu, justru carilah orang yang mau memberikan kritik sekaligus saran kepada Manusia. Tokh Manusia tidak akan menjadi rendah dengan hal itu.

Justru sebaliknya, pendapat orang bisa jadi membuka persepsi, wawasan, maupun
paradigma baru yang mendukung goal Manusia.

3. Kritik tidak perlu dibalas dengan kritik!
Tanggapi kritik dengan bijak. Manusia tidak perlu merasa marah atau memasukkannya ke dalam hati. Toh menyampaikan pendapat adalah hak semua orang.

Nikmatilah apapun yang mereka sampaikan. Tidak ada ruginya untuk ringan dalam mema'afkan seseorang.Anggaplah semua itu untuk perbaikan yang menguntungkan Manusia kelak.

Jangan pernah Manusia balas kritik dengan kritik. Karena hal ini hanya akan membuat perdebatan, menguras tenaga & pikiran. Tidak ada gunanya...

4. Terimalah kritikan dengan senyuman. ^_^
Ini semua bisa melatih mental kita agar bisa *tegar* menghadapi ujian yang lebih hebat di kemudian hari.

Singkatnya, kita memang hanya layak dipuji jika sudah berani menerima kritikan. Meski tidak mudah, asah terus keberanian Manusia untuk menikmati kritik layaknya menikmati kue Manusia.

Ingat, pujian dan apresiasi hanya akan datang apabila kita sudah melakukan sesuatu yang berharga.

So, jangan pernah bosan untuk memburu kritik, dan tanggapilah setiap kritik dengan lapang dada! :-)

Rabu, 20 April 2011

Ironi Sastra Bugis yang Terkikis

Posted first on February 17, 2009
Eduardus Karel Dewanto
http://www.korantempo.com/

Kitab La Galigo memiliki panjang sekitar 300 ribu baris. Dua kali lebih panjang dibanding Kitab Mahabharata dan Ramayana dari India.
Singapura — Layar putih panggung perlahan menggulung naik, satu-satu orang berbusana tradisional Bugis berjalan seirama kesunyian memasuki pentas. Mereka mengusung beragam perkakas sehari-hari. Disusul dua orang berbalut kain biru sepanjang enam meter merayap melintas di bibir bagian depan panggung. Selama 15 menit prolog lakon sastra epik besar I La Galigo itu penuh kesenyapan.
Saat kesunyian magis kian menyihir penonton, mendadak dihentak musik tabuh mengiringi tiga pria berpakaian laskar Bugis. Mereka melintas sambil melompat-lompat. Di akhir pementasan, adegan itu kembali muncul. Namun, mereka hanya berjalan mengusung benda-benda dalam bayangan kosong. Sesudahnya, seorang pemeran I La Galigo merosot turun dari tangga hidrolik ke bawah panggung. Inilah awal dan akhir cerita.
Tak kurang dari 2.000 penonton yang memadati gedung teater megah Esplanade, Rafless Street, Singapura, Jumat (14/3) pekan lalu memberikan apresiasi spontan. Mereka terhenyak berdiri dengan gemuruh tepuk tangan menggema selama beberapa menit. Tampak ikut berdiri, Menko Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla bersama istri, 15 rombongan dari Jakarta. Juga dedengkot Teater Koma Nano Riantiarno bersama istri, aktris Christine Hakim, Ria Irawan, dan lainnya. Hadir beberapa pengusaha, tokoh pers Djafar Assegaf hingga ekonom Sadli.
Sungguh apresiasi hebat atas epik Bugis berlakon I La Galigo yang diusung arsitek teater kontemporer dunia, Robert Wilson. Ia berhasil mengangkat epik berumur ribuan tahun yang mulai terkikis di masyarakat Bugis. La Galigo merupakan sastra unik karena memiliki gejala khas konsisten, gaya bahasa dan alur cerita. “Epik ini sederhana dan alami, karenanya saya lebih menonjolkan kreativitas artis dengan memadukan gerakan, kata-kata, teknik lampu, musik, dan imajinasi,” kata Wilson.
Keberhasilan pentas perdana ini tak lepas dari dukungan 50 aktor seniman Indonesia. Dalam kerangka artistik bersentuhan teknologi, penari dari Sulawesi Selatan, Jawa, Bali, Sumatera, dan Papua membuat cerita menjadi hidup. Selepas tiga hari di Singapura, I La Galigo terbang ke Amsterdam, Barcelona, Lyon, Ravenna, Italia, dan New York.
I La Galigo sejatinya karya sastra Bugis kuno yang berisi tentang genesis orang Bugis dan filosofi kehidupan manusia. Menurut peneliti Belanda Roger Tol, kitab La Galigo memiliki panjang sekitar 300 ribu baris. Dua kali lebih panjang dibanding Mahabharata dan Ramayana serta sajak-sajak Homerus dari Yunani sepanjang 160-200 ribu baris. Peneliti La Galigo selama 25 tahun ini juga menilai gaya bahasanya sangat indah.
Sedikit dialog Robert Wilson membuka lakon ini dengan gaya tengok belakang. Awal cerita menampilkan seorang pria berpakaian Kerajaan Cina, duduk bersila membaca kitab I La Galigo yang ditulis dengan bahasa Lontar. Ia menampilkan kisah yang praktis berurutan, sejak cerita tentang kakek dan kemudian giliran ayah, dan terakhir tentang I La Galigo. Selama tiga jam tampak adegan-adegan yang terharmonisasi tarian dan musik tradisional, serta kilatan permainan cahaya. Dialog bisu di atas panggung dihidupkan 70 alat musik Bugis.
Tampak sekali Robert mengangkat teks-teks kuno berwujud puisi menjadi cerita epik sederhana. Ia ingin membawanya ke dunia masa kini yang jarang diketahui orang. Maka, ia meminimalkan dialog, yang dibawakan “dalang” pendeta bissu asli Puang Matoa Saidi. Dialog maupun cerita ringkas dalam bahasa Bugis yang dilantunkan. Untuk menuntun plot dalam bahasa Lontar halus, disediakan terjemahan bahasa Inggris di papan teks sisi kiri panggung.
Tari garapan Andi Ummu Tunru menguatkan La Galigo sebagai tradisi tua. Tari Pakarena dari Makassar, Pajoge dari Bone, Pajaga dari Luwu, Pegellu dari Toraja, dan Pamanca dari Gowa. Kostum garapan Joachim Herzog dengan warna mencolok menegaskan karakter para tokoh. Patoteque putih bersih, tokoh Batara Guru merah, tokoh Sawerigading kuning.
Kilatan permainan lampu mengganti warna-warna latar belakang cerdas mendukung penonjolan tokohnya. Sorotan snap shot menimbulkan efek tiga dimensi. Gemuruh musik perpaduan perkusi, sayatan rebab juga menyuguhkan suasana berbeda-beda.
Sebelum pementasan, Andi Ummu Tunru yang mengenakan gaun panjang cokelat kepada Koran Tempo mengatakan, penggarapan karya ini menjalani proses panjang. Mereka harus melakukan penelitian tentang kitab La Galigo selama tiga tahun. Begitu juga membuat seminar terbuka penggalian sastra La Galigo. Selepas itu, terbentuk kesepakatan menampilkannya berupa pementasan. “Persiapan pentas perdana di Singapura dilakukan selama dua minggu,” katanya.
Mereka berlatih tiga kali sepekan di Benteng Fort Rotterdam, Singapura. Sebelumnya, para seniman harus belajar Pamanca di Desa Paopao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Latihan selalu berlangsung pada pukul 23.00-04.00 Wita. Latihan ditutup dengan ritual maccera, yaitu memotong ayam sebagai pertanda syukur.
Cikal bakal pertunjukan ini ketika penari Restu Kusumaningrum, koordinator artistik produksi, bersama Rhoda Grauer, produser seni dan penulis naskah lakon ini, sepakat mewujudkannya menjadi seni pertunjukan. Bersama Rahayu Supanggah mereka membuat presentasi di studio Robert Wilson di New York, dan berhasil menggaet Change Performing Arts (Italia) sebagai sponsor.
Kitab La Galigo mulanya dikumpulkan Raja Paccana, Colliq Pujie, dari lembaran-lembaran daun lontar. Ia hidup pada 1812-1876. Statusnya sebagai Raja Tanete tidak menghalangi kerjanya. Saat itu, Kabupaten Barru masih terbagi empat kerajaan: Tanete, Balusu, Malluisetasi, dan Barru.
Naskah La Galigo tersebar di beberapa negara. Selain empat di Inggris dan beberapa naskah di Belanda, lima naskah La Galigo juga tersimpan di Library of Congress Washington DC, Amerika Serikat. Naskah-naskah tersebut, Bugis (1) War betw Two Rajahs, Bugis (2) Day of Judgement-fr. The Koran, Bugis (3) A Tale, Bugis (4) A Rajah’s courtship, Bugis (5) Marriage froms, etc.
Peneliti sastra Universitas Hasanuddin, Makassar, Nurhayati Rahman, menjelaskan, kitab asli La Galigo tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Naskah itu dibawa Dr. Benjamin Frederik Matthes sekitar 1800-an. Awalnya, Matthes dikirim ke Sulawesi Selatan oleh Nederlands Bijbelgenootschap untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Bugis dan Makassar. Pulang ke Belanda, ia membawa 25 naskah Sureq La Galigo.
Rencana pementasan La Galigo sempat menuai protes medio tahun lalu. Proyek lakon ini dinilai banyak mencangkokkan unsur-unsur luar Bugis. Padahal, unsur-unsur Bugis yang menjadi landasannya justru ditinggalkan. Para seniman Sulawesi Selatan berpandangan pementasan itu bisa membangun persepsi keliru tradisi dan syair kepahlawanan yang mengakibatkan jiwa La Galigo tak utuh. Para peneliti, ilmuwan, dan seniman yang terlibat sejak awal proyek La Galigo malah ditinggalkan.
Nurhayati menjelaskan, Rhoda Grauer dan Restu Kusumaningrum dari Bali Purnati Centre for The Art, tidak menghargai hak intelektual dan para peneliti La Galigo. Padahal, Rhoda Restu hanya sebagai penghubung dengan sutradara Robert Wilson. Konon, kontroversi ini yang membuat pementasan La Galigo tidak digelar di Tanah Air. Kontroversi tersebut ditepis Jusuf Kalla yang menyebut tidak tersedianya gedung representatif sebagai penyebab.
Peneliti La Galigo yang lain, Muhammad Salim, mengatakan tidak mungkin melakonkan utuh La Galigo. Sebab lebih panjang dari epos Mahabharata dan petualangan tokoh utamanya sebanding dengan kisah Ulysses dalam Odyssey karya Homer. Diambillah keputusan mengambil salah satu bagian terpenting: awal mula manusia di bumi.

Selasa, 19 April 2011

Sebuah Tulisan Tak Terduga


Hipnotis Musik dari Kalifornia

Cake baru membuat penonton berjingkrak di saat konser hampir berakhir.  Konsisten di panggung


KRIIINGG.... Sejenak hening berdetak dalam detik. Bunyi telepon berdering disambut besutan gitar synthesizer menghipnotis. Lalu, sebuah lirik dibarengi gebukan drum menghentak sunyi: /No phone, no phone/I just want to be alone today/no phone, no phone. Penonton pun berjingkrak-jingkrak bak gelombang. Aksi spontan jemari gitaris Cake, Xan McCurdy memetik dawai gitar kian memukau penonton. Lengkingan gitarnya cepat nan eksotis.

Inilah saat-saat Cake mampu merebut hati sekitar 1500 penonton di Tennis Indoor Senayan, Jakarta, Kamis malam pekan silam. Penonton berjingkrak seirama lagu bertajuk No Phone yang disuguhkan John McCrea, vokalis kelompok asal Kalifornia ini. Lagu ini bagi-orang-orang yang tak ingin terganggu dering telpon, kata McCrea yang mengaku inspirasi lagu itu berawal dari kejenuhannya menerima telepon 15-20 kali sehari. 

Selesai lagu itu, lagu andalan I Will Survive yang sempat melejit di papan tangga lagu dunia pada 1996, membuat penonton kian menggila. Tak habis-habisnya histeria mereka meletup-letup. Dan, Never There menutup aksi panggung Cake. McCrea dan kawan-kawan melambaikan tangan, lalu surut ke balik panggung.

Penonton puas? Tidak. We want more, we want more, begitulah mereka tak ingin pertunjukan berakhir dan bergeming di arena. McCrea rupanya bersimpati kembali ke panggung. Saya hargai kalian memilih pertunjukan ini, meski ada konser lain di dekat sini (Konser Kris Dayanti - red), katanya. Lagu Daria lalu menjadi bonus antusias penonton dan sepasang stik drum Pablo Ebadi dilempar ke arah penonton yang berebut meraihnya dengan antusias.

Respon penonton seperti di tiga lagu terakhir sejatinya sudah jadi harapan McCrea sejak lagu ketiga, Short Skirt/Long Jaket, disuguhkan. Ia bahkan sudah berusaha menggaet hati penonton lebih awal lagi dengan cara melepaskan jaket abu-abu yang membungkus kemeja bergaris-garis vertikal yang ia pakai. Terima kasih untuk suara-suara dari Jakarta, kata McCrea setelah penonton bersedia mengikuti lirik yang dicontohkannya.

Sayangnya, suasana kembali redup hingga setengah jam lebih pertunjukan berlangsung memasuki lagu kesembilan, Sheep to Heaven. McCrea terlihat frustrasi, meski sudah konsisten bermain di panggung. Padahal, ia sudah berusaha atraktif di panggung dengan memainkan gitar akustik dan alat semacam garpu tala. Tiupan terompet dan keyboard juga selalu terdengar dominan memanjakan penonton di setiap lagu.

Apa boleh buat, pentas Cake ini tak termasuk kategori sold out concert (konser yang tiketnya habis terjualred) yang bisa membuat senyum promotor Java Musikindo yang mendatangkan mereka ke sini. Gedung berkapasitas 4000 pengunjung itu tak penuh. Sisi tribun hanya diduduki puluhan penonton. Sementara di depan panggung hanya tiga perempat yang terisi. Setting panggung pentas Cake berukuran 17 x 6 meter juga sangat sederhana. Yang ada hanya permainan tiga lampu sorot dan sebuah bola kaca di atas panggung. Sementara sound system juga berkekuatan tak lebih dari 20 ribu watt. Soundnya kayaknya kurang nendang ya, kata Mone, 18 tahun, penonton asal Kupang kepada Tempo. Namun Mone tetap meras puas karena memang menyukai lagu-lagu Cake yang nyeleneh. Bukan easy listening, tapi bisa dinikmati.

Beda lagi dengan Raisa, 17 tahun, pelajar SMU Taman Tirta Jakarta Selatan dan Mareyke Rika, 28 tahun. Baik Raisa maupun Rika mengakui respon penonton sangat kurang. Mereka melihat seharusnya penonton bisa bergoyang pada beberapa lagu-lagu. Saya kira kalau penonton memberi respon, bisa lebih hidup, kata Raisa yang sudah mengenal lagu-lagu Cake ketika di bangku SMP. Lagu I Will Survive adalah lagu favoritnya.
 
Di kalangan Artis, rupanya banyak juga yang datang. Ada Andi /rif, Sigit (Base Jam), Puput Melati dan sejumlah artis lainnya. Andi /rif bahkan sudah jauh hari menjadwalkan waktunya untuk konser ini. Saya senang  No Phone. Cepat dan enak di dengar, katanya. 

Eduardus Karel Dewanto
*Pertama menulis musik, mendapat penghargaan dari Java Musikindo.

Senin, 18 April 2011

Follower Jejak Sepasang Kaki

Semburat mentari pagi mencubit kulit....




Kehangatan kurasakan selepas bangun pagi. Kutatap mentari berkilau menyemburatkan cahayanya ke arah manusia. Harapan! Ya... Sinar itu telah menampar mereka yang bangun di pagi hari, untuk terus mengawali hari dengan penuh kehangatan. Kehangatan untuk melawan rasa takut, berani menghadapi tantangan, dan menepis semua pergumulan hidup yang miring.

Inilah hari yang menghidupkanku untuk mengawalinya lagi. Mengawali hidup dengan kembali membuat coretan, goresan dan torehan tulisan dalam sebuah blog, yang telah sekian lama terlupakan. Entah ke mana lahan dan ruang maya silam itu. Kini kehangatan itu telah membuhul kembali. Rasa kangen untuk kembali menulis, setelah sekian tahun kebiasaan itu tersisihkan.

Kini, aku akan menapakkan kaki, dan menarikan jemar-jemari tanganku yang mulai kaku. Apapun yang kulihat dan apapun yang kurasakan.  Satu yang menjadi pemanduku.... Jejak Sepasang kaki...  untuk menyampaikan Kebenaran...




Dan, akulah Follower Jejak Sepasang Kaki itu....





Jakarta, 18 April 2011



Eduardus Karel Dewanto
twitter: @ekade_wa  facebook: ekade_wa@yahoo.com 

Antara T-(ambang) dan T-(NI)

Bentrok TNI-Warga tidak sepatutnya terjadi. Kisruh berkepanjangan merupakan pola sistematis peninggalan masa lalu, yang dibiarkan atau abuse. Seandainya memang masalah sengketa itu diselesaikan secara hukum dari awal, tentu meminimalkan konflik. Tapi ada yang menarik di balik itu. Sosok seorang peneliti UI yang mempelajari sengketa tersebut, dan menemukan adanya tambanh timah di sana. Apakah dibalik tambang ini pemicu konflik, tentara yang belakangan kantongnya ompong?

Minggu, 17 April 2011

Radikalisasi Tunggal Cirebon?

Sepenggal diskusi menarik dalam sebuah obrolan. Ini terkait dengan pengeboman di Cirebon. Dalam obrolan itu terlontar pertanyaan: apakah Pelaku bom bunuh diri itu tunggal? Artinya tidak melibatkan sebuah jaringan. Bila benar, begitu mengerikannya negeri ini, ketika seseorang sudah mulai melakukan aksi "pemberontakan" dan "merakit" bom sendiri. Pengawasan terhadap radikalisasi menyimpang, patut menjadi perhatian bersama, dan bukan lagi tugas polisi semata. Tapi itu juga masih anasir. Kebenaran, entahlah!