Jumat, 15 Juli 2011

Bertahan dengan Batang Gewang

26 Juni 2006
Kelaparan

Bertahan dengan Batang Gewang

Matahari menyengat ubun-ubun Laurensius Bewat yang memanggul tiga balok batang pohon. Warga Desa Rubit, Kewapante, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, ini baru pulang dari hutan di kaki Gunung Egon. Dia tampak lelah setelah tiga jam mengais batang pohon gewang untuk bahan tepung putak. Setiba di rumah, lelaki 25 tahun ini tak segera beristirahat. Dia membersihkan batang-batang itu, lalu menjemurnya di halaman.
Bahan putak itu baru dientas esok hari oleh istrinya, Agustina, 23 tahun. Batangnya yang kering dicincang menjadi setebal tempe kedelai, lalu ditumbuk hingga berserat kasar mirip sabut kelapa. Serat ini dijemur lagi agar ke-ring betul, kemudian ditumbuk kembali- hingga muncul butiran tepung seukur-an gula putih. Tepung itu disaring lagi sampai halus kecokelatan.
Sore harinya, Agustina siap mengolah-nya jadi makanan. Tepung kecokelat-an itu dia masak dengan santan dan gula merah. Hasilnya dua baskom bubur- putak, cukup untuk makan dua hari bersama keluarganya. Pasangan ini ba-ru memiliki satu anak, Ricky Ricardus yang berusia 2,5 tahun. "Satu piring bubur mampu menahan lapar selama empat sampai lima jam," kata Agustina kepada Tempo pekan lalu.
Itulah kegiatan yang sehari-hari dilakukan Laurensius dan istrinya. Sebenarnya, makanan dari tepung putak sudah tiga dasawarsa tak dikonsumsi warga Sikka. Warga pernah mengkonsumsinya pada 1965 sampai 1972 ketika terjadi paceklik. Setelah itu putak lebih dikenal sebagai makanan ternak. "Seka-rang, kami terpaksa memakan putak lagi," kata Laurensius.
Warga Rubit menyantap putak sejak dua bulan lalu karena tak mampu membeli beras dan jagung. Kocek mereka menipis. Pertanian kakao (bahan pembuat permen cokelat) tak mampu menjadi mesin duit lagi. Satu-satunya sumber pendapatan utama mereka itu diserang hama Helopelthis Sp dan jamur upas.
Akhirnya, warga mengolah batang po-hon gewang, sejenis palem, menjadi makanan alternatif. Mereka merasa beruntung telah mematuhi petuah leluhur tentang tanaman itu. "Setiap ada pembabatan hutan untuk kebun, orang tua kami melarang menebas pohon gewang karena bermanfaat bagi manusia atau ternak," kata Laurensius.
Desa Rubit adalah satu dari 76 desa pada sembilan kecamatan di Kabupaten- Sikka. Dibanding dengan sejumlah desa lain yang juga mengalami kesulit-an ekonomi, kondisi Desa Rubit memang paling- parah. Desa berpenduduk 1.200 jiwa ini sebenarnya berada di wilayah subur. Hujan saban hari mengguyur deras, tak ada tanda kekeringan. Tapi hama rupanya menggerogoti pertanian di timur Kota Maumere itu. Pohon-pohon kakao, kelapa, alpukat, dan nangka jadi mandul tak berbuah.
Menurut Petrus Naran, seorang peta-ni kakao di desa itu, musim paceklik kali ini sungguh berat. "Kami kesulitan uang untuk membeli makanan pokok," kata le-laki 42 tahun ini. Warga tidak bisa me-nik-mati kebun jagung yang ditanamnya ka-rena telah hancur dilalap hujan. Me-re-ka juga terancam kelaparan lantaran tidak mendapat uang dari berkebun kakao.
Ketika kebun kakaonya belum -terse-rang- hama, Petrus bisa memperoleh penghasilan bersih Rp 15 juta hingga - Rp 30 juta dalam sekali panen atau se-tiap- tiga bulan. Dia memiliki ratusan po-hon kakao. Untuk satu pohon kakao, Petrus bisa menjualnya lebih dari Rp 200 ri-bu.
Warga yang lain selama ini juga bisa hidup sejahtera dengan berkebun kakao. Meski tinggal di lereng Gunung Egon, tak ada warga yang hidup di rumah ber-atap daun kelapa, dinding bambu, dan lantai tanah. Rumah mereka umumnya sudah terbuat dari tembok semipermanen dan berlantai semen. Radio dan televisi bukan barang mewah bagi me-reka. Bahkan ada warga yang telah memiliki antena parabola dan mobil.
Setelah paceklik datang, penduduk di sana memakan apa saja untuk bertahan- hidup. Selain putak, ada pula yang meng-konsumsi ubi-ubian liar di hutan. Geraldus, 10 tahun, dan Martha Nuge, 32 tahun, memilih makanan itu ketimbang putak. Dua warga Rubit ini tak doyan putak yang berserat keras. "Kami terpaksa mengkonsumsi ubi dan kacang hutan," kata Martha, ibu rumah tangga.
Kebun-kebun kakao mulai terserang ha-ma sejak tiga tahun silam. Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Sikka, Kornelius Nggala, menuding pemerintah- tidak tanggap. Seharusnya pencegahan bisa dilakukan dengan menyokong bi-bit baru dan pupuk. Waktu itu, dia sudah mengusulkan anggaran Rp 20 miliar, tapi tidak disetujui.
Kornelius mencatat bencana ini cukup- parah. Tanaman kakao yang gagal dipanen mencapai hampir 10 ribu hektare. Sebanyak 10 ribu atau 5,3 juta pohon lainnya dinyatakan rusak. Ini membikin 35 ribu atau 60 persen warga Sikka kesulitan membeli beras karena kocek menipis. "Mereka terancam kelaparan," kata Kornelius kepada Tempo. Pemulihan lahan kakao tidaklah gampang. Setidaknya butuh waktu tiga tahun.
Wakil Bupati Sikka Yoseph Ansar Re-ra mengakui tanaman Kakao yang ber-umur 26 sampai 35 tahun rentan ter-se-rang hama. Tapi dia menolak jika pemerintah dituding tidak tanggap dan me-nyebabkan kerawanan pangan. Dia me-ngatakan, pemerintah sudah meng-upa-yakan pengendalian dengan me-nyemprotkan insektisida. "Tapi hasilnya tidak maksimal," kata Yoseph.
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie telah mengi-rim tim ke Sikka, dua pekan lalu. Tim ini kemudian menyimpulkan tak ada bencana kelaparan. Yang ada baru indikasi rawan pangan. "Ini akibat gagal panen kakao yang disebabkan perubahan cuaca periode tanam 2004/2005," kata ketua tim peninjau, Bintang Susmanto.
Kini mulai ada laporan warga yang terganggu pencernaannya karena ma-kan- putak. Para ahli gizi juga meragu-kan- kandungan gizi makanan ini. "Ka-mi sedang meneliti tepung putak di Kupang," kata Kepala Dinas Kesehatan Sikka, Wera Damianus. Pusat Penelitian Tanam-an Kelapa dan Kakao di Jember, Jawa Timur, turut menelaah. Pemerintah lalu meminta warga berhenti mengkonsumsi putak karena belum ada hasil penelitian hingga pekan lalu.
Pemerintah pusat sudah menyalurkan- beras bantuan dari gudang Badan Urus-an- Logistik Maumere. Ada lagi bantuan beras untuk orang miskin sebanyak 3.565 ton, bantuan 9.200 ton dari Lembaga Program Pangan Dunia dan 1.000 ton dari Departemen Sosial.
Masyarakat sedikit lega bisa kembali makan nasi untuk sementara ini. Tapi bagaimanapun, bantuan itu terbatas jumlahnya, cuma dipatok 400 gram per orang untuk satu hari. "Kami akan mengkonsumsi putak lagi bila bantuan habis, " kata Laurensius Bewant.
Eduardus Karel Dewanto dan Jems De Fortuna (Maumere)

Rabu, 13 Juli 2011

Aral Menghalang di Calang

 
DAMAI telah bersemai di Nanggroe Aceh Darussalam. Tapi, seruas jalan di Aceh Jaya itu tetap saja bak medan perang. Potongan kayu dan besi berpacakan di jalan. Kawat duri bergulungan. Penduduk Desa Kuala hingga Medangghen bersiaga laiknya gawat darurat.
Penduduk di jalan yang menghubungkan Banda Aceh dan Calang, ibu kota Aceh Jaya, itu sebetulnya tak sedang berperang. Mereka hanya memblokade jalan, mengusir semua mobil yang hendak melewati jalan di pesisir pantai itu. Para penduduk menuntut ganti rugi tanah mereka yang dipakai membangun jalan itu, beberapa saat setelah tsunami menggulung Aceh pada akhir Desember 2004.
Itulah jalan darurat yang dibuat Tentara Nasional Indonesia karena jalan lama musnah disantap ombak. Tentara membabat kebun produktif di tepi barat Desa Leupung hingga Calang. Belakangan, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh ternyata memutuskan membuat jalan baru yang letaknya 200 meter dari pantai. Para pemilik tanah di jalur darurat itu pun memprotes. "Kalau pemilik tanah yang kena jalur baru diganti, kenapa kami tidak?" kata Sjafrie, 26 tahun, warga Medangghen.
Pada akhir November lalu, penduduk menghadang mobil Bupati Aceh Jaya, Basri Emka. Sang Bupati turun dari mobil, mencabuti kayu dan kawat yang mengaral. Penduduk bergeming, tetap menutup jalan. Bupati akhirnya menyerah. Ia membuat pernyataan bersedia membayar sewa tanah warga. Ternyata janji itu hampa belaka.
Ketika wartawan Tempo hendak melintasi jalur ini, Jumat dua pekan lalu, blokade belum dibuka. Setelah empat jam berunding, Tempo akhirnya diizinkan lewat. Itu pun setelah Jasmine, Kepala Dusun Bahagia, Kuala, membantu menjelaskan kepada penduduk.
Ada sekitar 20 pos blokade di sepanjang jalur Banda Aceh-Calang. Di setiap pos, pengguna jalan dimintai duit. Besarnya bervariasi, antara Rp 5.000 dan Rp 30.000.
Di beberapa desa, blokade bahkan dibuat permanen di tengah jalan. Akibatnya, truk dan mobil kecil yang sudah telanjur melintas ke wilayah ini terjebak. Mereka pun segan balik arah karena kondisi jalan yang buruk. Muzamin, 22 tahun, sopir truk yang terjebak, misalnya, mengaku sudah empat hari tidur di Medangghen.
Masalah tanah itu mengganggu proses pemulihan Calang, yang runtuh dilumat tsunami dua tahun silam. Sebab, inilah jalur terpendek menuju Banda Aceh. Jalur lain umumnya tiga kali lebih jauh. Misalnya, rute Geumpang-Meulaboh-Banda Aceh.
"Masalah tanah ini harus segera diselesaikan agar kehidupan Calang jalan lagi," kata Teuku Hamdani, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh Jaya. Di sepanjang jalan menuju Calang, hanya di satu-dua lokasi yang sudah dibangun rumah permanen. Sebagian besar penduduk masih tinggal di barak dan rumah penampungan sementara. Di Calang, baru 4.000 rumah yang sudah dibangun dari rencana semula 14 ribu rumah.
Ada sedikitnya lima barak yang ditinggali warga. Diperkirakan tiap barak meliputi 24 kamar, untuk hunian 50 keluarga. Pembangunan kembali fasilitas-fasilitas pemerintahan juga belum jalan. Kondisi memprihatinkan terlihat jelas di kantor bupati dan DPRD. Dua kantor yang menjadi fondasi pemerintahan Aceh Jaya di Calang itu jauh dari kelayakan. Berdiri di barat Kota Calang, kantor itu hanya berdinding papan dan beratap seng. DPRD Calang bahkan memakai bekas gudang bantuan logistik sebagai kantor.
Calang sangat kesulitan anggaran untuk membangun infrastruktur baru. Pada saat bencana mengoyak Calang, menurut Hamdani, dua kantor itu sebenarnya sedang dalam tahap penyelesaian. Sekitar 80 persen bangunan sudah berdiri.
Tengok juga urusan pembangunan jalan perkotaan dan pedesaan di Calang. Belum seluruhnya dikeraskan dan dilapisi aspal, kecuali di kawasan kantor pemerintahan. Jalan ke permukiman penduduk masih berupa tanah yang dikeraskan. Becek dan berlumpur bila hujan datang.
Di sisi Desa Krueng Sabee, ada jembatan kayu bantuan pada masa tanggap darurat, yang kini telah rusak. Jembatan di atas Sungai Krueng Sabee itu berbahaya dilintasi motor, bahkan pejalan kaki. Kayu-kayunya lapuk dan patah tercelup sungai. Dulunya, titian itu menggantikan jembatan beton yang ditelan tsunami. "Karena rusak, kami keluar dari desa ke kota Calang hanya dua minggu sekali," kata Mardiyah, guru sekolah dasar di desa itu.
Mardiyah sulit mengatur pelajaran anak didiknya. Satu-satunya jalan darat penghubung lima dusun di Krueng Sabee dengan Calang tidak tersentuh pembangunan. Memang, kata Mardiyah, rusaknya jembatan tidak membuat warga sulit mencukupi kebutuhan pokok. Mereka masih bisa makan sayuran dan ikan yang mudah diambil dari laut yang mengitari desa itu.
Koordinator Pembangunan Aceh Periode Tahun Kedua, Heru Prasetyo, tak menampik kelambanan di Calang. Pembangunan terhambat karena masalah jalan, yang direncanakan BRR dan USAID selesai tahun depan, ternyata belum kelar. Padahal, jalur Banda Aceh hingga Calang kunci utama lalu-lintas logistik.
Eduardus Karel Dewanto (Calang), Maimun Saleh (Banda Aceh)

Dari Reruntuhan Tanah Runtuh

Poso, 06 November 2006

Dari Reruntuhan Tanah Runtuh

Pada mulanya Tanah Runtuh adalah nama sebuah kampung santri di Desa Gebang Rejo, Poso. Sekarang polisi memakainya sebagai identitas kelompok yang dituding melakukan mutilasi, penembakan, dan aksi teror.
Itulah kelompok Tanah Runtuh. Polisi menuduh kelompok ini bertanggung jawab memantik petaka berdarah di malam takbiran lalu di Gebang Rejo. Tudingan itu tentu saja disangkal para tetua agama setempat. Namun, polisi kukuh. Senin pekan lalu, ditebarlah nama serta foto para anggota kelompok ini. "Jumlahnya 29 orang," kata juru bicara Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Ajun Komisaris Besar Muhammad Kilat.
Tidak semuanya anggota kelompok Tanah Runtuh. Sebagian berasal dari kelompok Mujahidin Kayamanya. Namun, berasal dari kelompok mana pun, kata polisi, mereka dibuhul oleh satu nama: Hasanuddin.
Pria ini adalah tersangka kasus mutilasi tiga siswi Sekolah Menengah Umum Kristen di Poso, Oktober 2005. Ia dan empat anggotanya sudah dibekuk polisi pada 25 Maret lalu di Palu dan akan segera disidangkan di Jakarta.
Jaringan Hasanuddin, menurut Kilat, bertanggung jawab atas berbagai kekerasan dan teror di seantero Poso. Kelompok Tanah Runtuh, misalnya, terlibat kasus mutilasi, penembakan Pendeta Susianti Tinulele serta jaksa Pengadilan Negeri Palu, Ferry Silalahi. Kelompok ini juga dituding menembak Pendeta Irianto Kongkoli, Sekretaris Umum Gereja Kristen Sulawesi Tengah, pada 16 Oktober. "Mereka punya senjata otomatis dan bisa merakit bom," ujar Kilat.
Masih kata polisi, dalam aksinya kelompok Tanah Runtuh mendapat pasokan dana dari Mujahidin Kayamanya. Kelompok ini menggalang dana dengan cara merampok. Dalam tiga tahun terakhir mereka diduga merampok tiga kali di tempat berbeda.
Cerita lebih lengkap didapat dari Nassir Abbas, bekas Mantiqi III Jemaah Islamiyah Sulawesi Tengah. Menurut dia, dua kelompok itu sejatinya binaan Jemaah Islamiyah. JI berada di Poso sejak Juli 2000, setahun setelah warga Kristen dan Islam mulai baku bunuh.
Ke Tanah Runtuh barisan Jemaah Islamiyah datang, mendiami kampung muslim yang ditinggal mengungsi penghuninya. Di sana mereka memberikan pelatihan militer dan berdakwah kepada anak-anak muda muslim. Mereka kemudian dibawa ke Poso. Setiap kali, 40 orang diberangkatkan. Pengikutnya meluas ke desa-desa lain.
Damai singgah sebentar di Poso setelah Perjanjian Malino 21 Desember 2001. Namun, gelombang kedatangan anggota JI masih berlanjut, termasuk Hasanuddin yang datang setahun kemudian. Nassir-waktu itu dia komandan JI wilayah Sulawesi Tengah-menunjuk pria Jawa ini untuk memimpin Poso. "Saya pilih dia untuk memulihkan ekonomi Poso."
Lima bulan kemudian, pada April 2003, Nassir ditangkap polisi dengan tuduhan terorisme. Damai pergi lagi dari Poso. Hasanuddin, ujar Nassir, beraksi melakukan pengeboman dan pembunuhan. Perjanjian Malino yang diperbarui pada 2004 tak ampuh membujuknya. Menurut Nassir, "Hasanuddin tidak puas dengan Deklarasi Malino."
Pembela Hasanuddin, Achmad Michdan, membenarkan kliennya tidak puas dengan Deklarasi Malino. Anggota Tim Pengacara Muslim itu mengatakan, aksi oleh kliennya merupakan protes atas penganaktirian muslim Poso, termasuk dalam pengusutan kasus-kasus kerusuhan di wilayah itu.
Pengacara muslim lainnya, Tadjwin Ibrahim, menyatakan laskar Mujahidin sudah bubar setelah Deklarasi Malino. Bila ada yang merampok dan menodong, itu bukan langkah pengumpulan dana untuk kelompok. Itu, ujarnya, "Tindakan individu karena kebutuhan ekonomi."
Eduardus Karel Dewanto dan Darlis Muhammad (Palu)