Kamis, 22 November 2012

Sepenggal Kisah Jokowi...

Pak Jokowi, Hajar Saja Lurahnya!


TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWANGubernur DKI Jakarta Joko Widodo.

JAKARTA, KOMPAS.com - Ada saja pengalaman-pengalaman unik yang dialami Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, baik sebelum menjadi gubernur maupun sesudahnya. Kisah-kisah unik nan lucu itu pula yang kerap ia ceritakan dan menjadi perhatian warga yang mendengarnya.

Hal itu juga terjadi ketika Jokowi menjadi pembicara dalam acara Indonesia Creative Power, Pekan Produk Kreatif Indonesia (PPKI) 2012 di Epicentrum Walk, Jakarta Selatan. Selain Jokowi, Fiona Kerr dari University of Adelaide Australia juga menjadi pembicara bersama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia Mari Elka Pangestu.

Berbeda dari dua narasumber lain, yang menyampaikan presentasinya dengan duduk, Jokowi memilih berdiri dan menceritakan pengalaman kreatifnya. Jokowi mengatakan, kalau ia duduk justru tidak bisa lancar menceritakan pengalamannya.

"Dua puluh tiga tahun saya bekerja di barang-barang seperti yang tadi saya duduki, jadi agak kreatif sedikit-sedikit. Kemudian, tujuh tahun lalu, saya kecelakaan menjadi Wali Kota, nah itu mulai enggak kreatif," kata mantan Wali Kota Solo dan pengusaha mebel tersebut, Kamis (22/11/2012).

Setelah itu, kalimat demi kalimat mengalir dalam cerita Jokowi. Sewaktu menjadi Wali Kota Solo, misalnya, ia mengisahkan bahwa waktu itu ia menghadapi masalah dengan ajudannya yang berpostur lebih tinggi, besar, dan ganteng. Karena waktu itu Jokowi masih suka mengemudi sendiri, maka setiap kali hadir dalam acara-acara undangan, para tamu justru memberikan perhatian lebih besar kepada ajudannya.

"Problemnya, tamu-tamu yang datang ke saya, kok malah yang disalami ajudan saya, bukan saya. Haduh... satu bulan saya masih kuat, dua bulan enggak kuat, tiga bulan tambah enggak kuat, kemudian muncul ide kreatif saya," kata Jokowi, yang waktu itu berbobot 54 kg.

Jokowi kemudian mengganti ajudannya itu. Kali ini ia memilih ajudan dengan paras dan perwatakan tidak seperti sebelumnya. Yang lebih jelek, katanya. Mendengar itu, para pengunjung dalam acara itu sontak tertawa. "Selama tujuh tahun, akhirnya saya selamat karena yang disalami saya terus," ujarnya.

Ceritanya kemudian beralih ketika Jokowi mulai ke Jakarta dan menjadi gubernur. Menurutnya, satu hal kreatif yang pernah dilakukannya adalah saat ia melakukan inspeksi dadakan (sidak) ke kantor kelurahan dan kantor kecamatan di Jakarta Pusat pada 23 Oktober 2012 atau seminggu setelah ia dilantik jadi gubernur.

Ia menuturkan, ketika itu ia datang ke satu kantor kelurahan sekitar pukul 07.30. Alih-alih menemui lurah setempat, Jokowi justru melihat kursi-kursi di kantor tersebut masih dipasang terbalik atau ditidurkan. Ia pun hanya menemui tiga orang pegawai di kantor kelurahan itu.

"Kemudian, saya perintahkan untuk membuka tempat pelayanan. Terus satu orang itu membukahandle pintu yang masih terkunci, saya tunggu saja. Satu handle kunci tak tunggu enggak kebuka-buka. Tak tunggu sudah hampir tiga gerombol kunci masih juga belum kebuka, ya sudah saya tinggal saja ke kelurahan yang lain," kata Jokowi. Riuh tawa audiens pun kembali membahana.

Sama seperti kelurahan yang ia datangi pertama kali, kejadian yang sama juga ia temui di kantor kecamatan dan kelurahan selanjutnya. Menurutnya, pagi itu baru separuh pegawai yang hadir di kantor lurah, demikian pula di kantor kecamatan. Camat dan lurahnya pun tidak ada sehingga Jokowi gagal bertemu dengan mereka.

"Pegawai kecamatan itu mencoba kreatif. Dia menaruh tulisan 'Buka', ya saya senang. Tapi saya enggak kalah kreatif. 'Ini tulisannya buka, tapi kok saya lihat-lihat malah loketnya tutupan.' Kalah kreatif sama saya pegawainya," kata Jokowi yang kembali mengundang gelak tawa pengunjung.

Di akhir kisah pengalamannya, Jokowi menceritakan, saat ia melakukan sidak di kelurahan dan kecamatan, banyak warga yang saat itu melihatnya sidak menyuruhnya untuk menghajar lurah dan camatnya. "Pas sidak itu, mungkin yang melihat saya ada seribu penduduk. Begitu saya hadir, mereka teriak, 'Pak Jokowi, dihajar saja camatnya, hajar saja lurahnya.' Ha-ha-ha... lha ini apa, kenapa saya harus menghajar mereka... ha-ha-ha," canda Jokowi yang mendapatkan tepuk tangan meriah dari pengunjung.

Editor :
Laksono Hari W

Minggu, 18 November 2012

Tulisan Perdana dan Bangga


Hipnotis Musik dari Kalifornia

Cake baru membuat penonton berjingkrak di saat konser hampir berakhir.  Konsisten di panggung


KRIIINGG.... Sejenak hening berdetak dalam detik. Bunyi telepon berdering disambut besutan gitar synthesizer menghipnotis. Lalu, sebuah lirik dibarengi gebukan drum menghentak sunyi: /No phone, no phone/I just want to be alone today/no phone, no phone. Penonton pun berjingkrak-jingkrak bak gelombang. Aksi spontan jemari gitaris Cake, Xan McCurdy memetik dawai gitar kian memukau penonton. Lengkingan gitarnya cepat nan eksotis.

Inilah saat-saat Cake mampu merebut hati sekitar 1500 penonton di Tennis Indoor Senayan, Jakarta, Kamis malam pekan silam. Penonton berjingkrak seirama lagu bertajuk No Phone yang disuguhkan John McCrea, vokalis kelompok asal Kalifornia ini. Lagu ini bagi-orang-orang yang tak ingin terganggu dering telpon, kata McCrea yang mengaku inspirasi lagu itu berawal dari kejenuhannya menerima telepon 15-20 kali sehari. 

Selesai lagu itu, lagu andalan I Will Survive yang sempat melejit di papan tangga lagu dunia pada 1996, membuat penonton kian menggila. Tak habis-habisnya histeria mereka meletup-letup. Dan, Never There menutup aksi panggung Cake. McCrea dan kawan-kawan melambaikan tangan, lalu surut ke balik panggung.

Penonton puas? Tidak. We want more, we want more, begitulah mereka tak ingin pertunjukan berakhir dan bergeming di arena. McCrea rupanya bersimpati kembali ke panggung. Saya hargai kalian memilih pertunjukan ini, meski ada konser lain di dekat sini (Konser Kris Dayanti - red), katanya. Lagu Daria lalu menjadi bonus antusias penonton dan sepasang stik drum Pablo Ebadi dilempar ke arah penonton yang berebut meraihnya dengan antusias.

Respon penonton seperti di tiga lagu terakhir sejatinya sudah jadi harapan McCrea sejak lagu ketiga, Short Skirt/Long Jaket, disuguhkan. Ia bahkan sudah berusaha menggaet hati penonton lebih awal lagi dengan cara melepaskan jaket abu-abu yang membungkus kemeja bergaris-garis vertikal yang ia pakai. Terima kasih untuk suara-suara dari Jakarta, kata McCrea setelah penonton bersedia mengikuti lirik yang dicontohkannya.

Sayangnya, suasana kembali redup hingga setengah jam lebih pertunjukan berlangsung memasuki lagu kesembilan, Sheep to Heaven. McCrea terlihat frustrasi, meski sudah konsisten bermain di panggung. Padahal, ia sudah berusaha atraktif di panggung dengan memainkan gitar akustik dan alat semacam garpu tala. Tiupan terompet dan keyboard juga selalu terdengar dominan memanjakan penonton di setiap lagu.

Apa boleh buat, pentas Cake ini tak termasuk kategori sold out concert (konser yang tiketnya habis terjualred) yang bisa membuat senyum promotor Java Musikindo yang mendatangkan mereka ke sini. Gedung berkapasitas 4000 pengunjung itu tak penuh. Sisi tribun hanya diduduki puluhan penonton. Sementara di depan panggung hanya tiga perempat yang terisi. Setting panggung pentas Cake berukuran 17 x 6 meter juga sangat sederhana. Yang ada hanya permainan tiga lampu sorot dan sebuah bola kaca di atas panggung. Sementara sound system juga berkekuatan tak lebih dari 20 ribu watt. Soundnya kayaknya kurang nendang ya, kata Mone, 18 tahun, penonton asal Kupang kepada Tempo. Namun Mone tetap meras puas karena memang menyukai lagu-lagu Cake yang nyeleneh. Bukan easy listening, tapi bisa dinikmati.

Beda lagi dengan Raisa, 17 tahun, pelajar SMU Taman Tirta Jakarta Selatan dan Mareyke Rika, 28 tahun. Baik Raisa maupun Rika mengakui respon penonton sangat kurang. Mereka melihat seharusnya penonton bisa bergoyang pada beberapa lagu-lagu. Saya kira kalau penonton memberi respon, bisa lebih hidup, kata Raisa yang sudah mengenal lagu-lagu Cake ketika di bangku SMP. Lagu I Will Survive adalah lagu favoritnya.
 
Di kalangan Artis, rupanya banyak juga yang datang. Ada Andi /rif, Sigit (Base Jam), Puput Melati dan sejumlah artis lainnya. Andi /rif bahkan sudah jauh hari menjadwalkan waktunya untuk konser ini. Saya senang  No Phone. Cepat dan enak di dengar, katanya. 

Eduardus Karel Dewanto

So You Think You can.....

Malam itu, November 2012 

"So You Think You Can Dance" diputar di salah satu channel sebuah tv berbayar. Sebuah kontes anak muda menari (bukan tradisional). Satu per satu peserta single maupun duet unjuk kebolehan di atas panggung. lenggak-lenggok mereka disaput dengan belaian warna-warni lampu. 


Sungguh indah. Sekalipun bukan mahakarya, namun kompetisi ini memang sungguh membangun sebuah karya seni yang menakjubkan. Mereka berkompetisi dengan beragam genre tarian. Ada foxtrot, broadway, ballet, kontemporer, bollywood, hiphop, dan ragam lainnya. 

Bagaimana mereka mampu berkembang dari nol menjadi hebat di atas panggung? Masing-masing kontestan mendapatkan pemandu seorang pelatih papan atas dunia di Hollywood. Pelatih itu pun berganti-ganti. Mereka dari nol diberi kesempatan mengembangkan talentanya. Yang gagal, hukum alam yang akan merontokkannya.

Berlatih menjadi kewajiban mereka sebelum manggung. Menyerap ilmu dari para pelatih bintang itulah, modal mereka bila mau tampil apik dan menghayati. Tentu saja, karena koreografi tarian dari para pelatih itu, yang menjadi asupan para kontestan untuk mengembangkan talentanya berlenggak-lenggok di atas venue or stage. Ya. Para koreografer itu memang menjadi kunci keindahan di atas panggung. Merekalah perancang cerita, busana, ritme dan gerakan liak-liuk tubuh para kontestan.

Tengoklah apa kata para juri di ajang itu. Mereka selalu memberikan hormat kepada para koreografer itu, bila tarian mereka berhasil ditampilkan oleh para kontestan. ya, karena mereka ini kebanyakan para begawan tari dan seni.

Namun, ini yang terpenting. Semua ide dan gagasan para koreografer itu tak ada artinya sehebat apapun, tanpa ditopang semangat, kemauan, kreativitas, kecerdasan dan talenta dari para murid-murid kontestan. Semua gagasan itu menjadi sebuah karya di tanah lapang kering kerontang. Yang akan dilihat orang, hanyalah tanah kering retak-retak menjadi liat, begitu pula rasa yang ada adalah panas menyengat ubun-ubun kian membikin pusing. 

Deskripsi di atas menurut saya memiliki korelasi di dunia seni apapun. Salah satunya dunia seni jurnalisme broadcast. Para Koreografer itu ibarat para Executive Producer. Dia inilah penjaga gawang sebuah program. Ke mana arah dan tujuan sebuah produksi, adalah dia kuncinya. Tapi dia tidak akan memiliki arti apapun bila tidak ditopang personil, seperti produser, assprod, reporter, presenter, standupper, supporting teknik, yang handal. personil-personil ini terbangun dalam sebuah tim, dan bukanlah individu. Tim ini sepatutnya memiliki talenta, kemauan, kedisiplinan, kreativitas dan sebagainya. 

Karena itulah, saat melihat tayangan kontes tari di negeri Abang Sam atau United State, menjadi potret kecil kehidupan dunia broadcast. Para produser adalah kreator-kreator seni di layar kaca untuk menampilkan sebuah flow dan show rundown sebuah program menjadi apik, cantik, menarik, mendidik dan dilirik. Pilar penyangga itu ada di tangan mereka yang berada di garda terdepan, termasuk perangkat personil teknik yang menjadi support jalannya seni saat on air.

Dari tulisan ini, saya hanya sedikit ingin meluapkan sebuah pandangan menarik yang tampaknya sama dengan miniatur sebuah seni pertunjukan seperti tari. Dunia seni broadcast tak bisa dijalankan sendiri oleh individu. Tetapi tim yang kuat, yang mampu mengejawantahkan segala pemikiran seni "si dalang" "So 
You Think You Can Make a News Broadcast ??"