Petaka Pembawa Makna
Petang itu, Rabu 17 Januari 2013.
Lelah menghampiriku, setelah
seharian bekerja mengemas berita banjir Jakarta. Malam itu, baru
sebagian Jakarta terendam air kiriman Bendung Katulampa. Banjir merendam
ratusan rumah warga Kampung Pulo, sementara saya dan teman-teman punya
kewajiban mewartakannya. Ini adalah tugas dan panggilan kami sebagai
juru warta.
Jarum jam berjalan, menunjuk waktu untuk kembali ke
rumah. Sedikit terlambat malam itu tiba di gubuk kecil sederhanaku di
seberang Pegangsaan Dua. Lelah dan penat berkecamuk dalam tubuhku. Tapi
semua itu sirna tatkala tiba di rumah, dua anakku masih bercanda dan
menghampiriku. Sejenak bercanda setelah membasuh tubuh, tak terasa malam
kian larut. Kami semua pun terpejam oleh lelah bahagia.
Pagi, Kamis 18 Januari 2013
Pagi
pukul 06.00 Wib, sayup-sayup derap hujan menyapaku. Saat itu pula
kudengar suara lain... "Pak, anakmu masuk sekolah nggak, hujan deres,"
kata istriku. Mataku masih berat seolah lengket. "Hujan ya ?" Sahutku.
Sejenak kubangun dari pembaringan. Keluar, dan melongok ke jendela.
Gelap gulita. Pagi tak biasa. Langit terselimuti mendung. Air menetes
deras, menghantam tanah. Mengingat hari itu, anakku baru hari kedua
masuk sekolah untuk penyesuaian setelah libur, aku memutuskan anakku
izin dulu. Pagi itu dua anakku pun, yang masih berusia lima dan dua
tahun kuizinkan di rumah saja. Mereka kubiarkan tetap tidur.
Di
tengah hujan deras itulah, aku memutuskan menemani mereka istirahat. Dan
aku terlelap. Seolah baru sekejap, sebuah suara mengagetkanku.
"Bapak-bapak, bangun... bangun... banjir...banjir....," istriku panik
sembari menggoyang-goyang tubuhku yang betul-betul lagi pulas hari itu.
Aku terbangun. Tak sadar aku melonjak dan berlari menuju pintu, lantaran
kaget. "Ya ampun...," aku langsung meraih sekop air. Kuserok air keluar
dari rumah. Tapi apa daya, air lebih cepat masuk ketimbang keluar. Aku
langsung mengalihkan pikiran dan mata ke barang-barangku. Sofa, kursi,
mainan anakku, surat-surat penting, alat-alat elektronik, baju dan
kasur, langsung kubereskan. Semua kunaikkan lebih tinggi agar aman.
Anakku
masih tidur. Isteriku menerima kabar dari sekolah, kalau sekolah
diliburkan. Memang kabar di televisi, pagi itu banjir merata di Jakarta
dan sekitarnya tanpa kecuali. istana Presiden pun tergenang banjir. Jam
terus bergerak hingga siang. Lega menghampiriku. Air tak lagi meninggi.
Seatas mata kaki. Tapi lemari-lemari plywood dan kulkas di rumah yang
terendam semata kaki menjadi kekhawatiranku. "Semoga gak naik lagi..,"
batinku. Hati masih tenang meski air menyesaki rumah dan jadi ajang
bermain dua anakku, yang sudah terbangun. Listrikpun masih menyala.
Setidaknya, masih ada hiburan nonton tv sembari menunggu air surut.
Pukul
14.00 WIB, sekitar tujuh jam sejak air masuk menyapa rumahku, listrik
di rumah menyusul padam. Mendadak sekitar rumahku menjadi ramai meski
banjir. Hujan pun mulai reda. Orang-orang keluar karena gerah di dalam
rumah. Mereka berbincang di tengah air banjir, bercerita tentang kondisi
sanak dan saudara. Bahkan sebagian terlihat mengusung-usung sejumlah
barang miliknya untuk pergi mengungsi. Hotel, apartemen, atau rumah
sanak famili yang selamat.
Banyak ragam warga sekitar menyikapi
banjir. Ada pula yang tenang, seolah sudah biasa. Mereka kongkow di pos
sekuriti dengan yang lainnya, seperti hari-hari biasa. Mereka duduk di
bangku dan meja yang terendam banjir sepaha orang dewasa. Mereka
menikmati suasana sembari ngopi dan sebagian menghabiskan rokok di
tangan.
Naluri jurnalistikku tergerak. Kurekam semua suasana di
situ. Rencananya, gambar itu akan kukirim ke kantor melalui email. Tapi
rupanya, listrik tak kunjung hidup. Hingga pukul 18.30, barulah kejap
nyala lampu terasa. Dan saat itulah aku sudah disibukkan mengurusi rumah
yang terendam. Video tadi tak jadi kukirim ke kantor. Aktivitas di
rumah mulai berdenyut lagi. Tv bisa ditonton, komputer bisa menyala.
Anak-anak sedikit terhibur. Sementara mataku masih tertumbuk pada
genangan air di rumah. "Aduh, ini barang-barang bisa runyam kalo gak
surut," batinku.
Malam kian larut. Anak-anakku sudah terlelap
tidur. Beruntung mereka tidak rewel selama mata belum terpejam tidur.
Mereka malah menikmati air seolah menjadi sahabat bermain. Mereka juga
disibukkan dengan televisi yang cukup menghibur mereka dengan acara
anak-anaknya. Sementara malam itu, aku tak mudah memejamkan mata.
Hingga pukul 02.30 WIB aku baru tertidur. Itupun di kamar depan
sendirian, karena bersiaga. Hujan yang berulang kali reda dan deras
datang tiba-tiba membuatku khawatir. Tapi lelah tak bisa kupungkiri. Aku
terpejam mata hingga pagi.
Pagi, Jumat 19 Januari 2013
Saat
terjaga, rupanya air masih menggenang, namun hujan sudah reda. Aku
sedikit lega, meski cuaca di luar tidak bersahabat. Mendung gelap
gulita. Sesaat kemudian sekitar pukul 09.30, terang sudah mulai menyapa.
Aku meminta izin kepada isteri untuk berangkat ke kantor, meski rumah
masih terendam air. Istriku mengizinkannya. Kusambar sepeda gunung,
untuk keluar rumah mensurvei jalur keluar komplek menju kantor. "Nggak
ngantor, pak... ?" tanya Ah Siong, tetangga rumah. Dari percakapan
dengan orang inilah aku kemudian semakin yakin, jalur menuju kantor
aman. Dan berangkatlah aku ke kantor. Sembari merampungkan tugas di
kantor, kabar baik pun datang dari rumah. Isteri bilang, air sudah
surut.
Malam hari sepulang kerja, aku langsung ganti baju, dan
menyiapkan semua peralatan bersih-bersih rumah. Mengepel, menyemprot,
dan mengangkut-angkut barang-barang' serta merapikannya. Tak cukup
sehari merampungkannya. Sepekan pekerjaan itu barulah rampung. Sementara
hati masih berdebar, mengingat Jakarta masih waspada hingga tengah
Februari 2013.
Di sini makna hidup betul-betul kudapatkan.
Betapa beratnya para korban banjir. Sementara di satu sisi, para juru
warta bersuka cita mengabarkannya, demi komoditi berita. Tapi, ya
begitulah hidup. Harus ada simbiose mutualisma. Setidaknya, dengan
mengalaminya, seorang jurnalis akan lebih empati dan berhati-hati untuk
mengabarkan suatu bencana. Disitulah nilai jurnalisme, dan tujuan
mengabarkan sebuah bencana bisa bermanfaat. Bukan sekadar mencari
sensasi dan menarik banyak penonton. Tapi membantu penonton, khususnya
para korban bencana, bisa mendapatkan informasinyang akurat dan benar.
The End