Kamis, 31 Januari 2013

Ibu Kota Terendam Banjir

Petaka Pembawa Makna

Petang itu, Rabu 17 Januari 2013.
Lelah menghampiriku, setelah seharian bekerja mengemas berita banjir Jakarta. Malam itu, baru sebagian Jakarta terendam air kiriman Bendung Katulampa. Banjir merendam ratusan rumah warga Kampung Pulo, sementara saya dan teman-teman punya kewajiban mewartakannya. Ini adalah tugas dan panggilan kami sebagai juru warta.

Jarum jam berjalan, menunjuk waktu untuk kembali ke rumah. Sedikit terlambat malam itu tiba di gubuk kecil sederhanaku di seberang Pegangsaan Dua. Lelah dan penat berkecamuk dalam tubuhku. Tapi semua itu sirna tatkala tiba di rumah, dua anakku masih bercanda dan menghampiriku. Sejenak bercanda setelah membasuh tubuh, tak terasa malam kian larut. Kami semua pun terpejam oleh lelah bahagia.

Pagi, Kamis 18 Januari 2013
Pagi pukul 06.00 Wib, sayup-sayup derap hujan menyapaku. Saat itu pula kudengar suara lain... "Pak, anakmu masuk sekolah nggak, hujan deres," kata istriku. Mataku masih berat seolah lengket. "Hujan ya ?" Sahutku. Sejenak kubangun dari pembaringan. Keluar, dan melongok ke jendela. Gelap gulita. Pagi tak biasa. Langit terselimuti mendung. Air menetes deras, menghantam tanah. Mengingat hari itu, anakku baru hari kedua masuk sekolah untuk penyesuaian setelah libur, aku memutuskan anakku izin dulu. Pagi itu dua anakku pun, yang masih berusia lima dan dua tahun kuizinkan di rumah saja. Mereka kubiarkan tetap tidur.

Di tengah hujan deras itulah, aku memutuskan menemani mereka istirahat. Dan aku terlelap. Seolah baru sekejap, sebuah suara mengagetkanku. "Bapak-bapak, bangun... bangun... banjir...banjir....," istriku panik sembari menggoyang-goyang tubuhku yang betul-betul lagi pulas hari itu. Aku terbangun. Tak sadar aku melonjak dan berlari menuju pintu, lantaran kaget. "Ya ampun...," aku langsung meraih sekop air. Kuserok air keluar dari rumah. Tapi apa daya, air lebih cepat masuk ketimbang keluar. Aku langsung mengalihkan pikiran dan mata ke barang-barangku.  Sofa, kursi, mainan anakku, surat-surat penting, alat-alat elektronik, baju dan kasur, langsung kubereskan. Semua kunaikkan lebih tinggi agar aman.

Anakku masih tidur. Isteriku menerima kabar dari sekolah, kalau sekolah diliburkan. Memang kabar di televisi, pagi itu banjir merata di Jakarta dan sekitarnya tanpa kecuali. istana Presiden pun tergenang banjir. Jam terus bergerak hingga siang. Lega menghampiriku. Air tak lagi meninggi. Seatas mata kaki. Tapi lemari-lemari plywood dan kulkas di rumah yang terendam semata kaki menjadi kekhawatiranku. "Semoga gak naik lagi..," batinku. Hati masih tenang meski air menyesaki rumah dan jadi ajang bermain dua anakku, yang sudah terbangun. Listrikpun masih menyala. Setidaknya, masih ada hiburan nonton tv sembari menunggu air surut.

Pukul 14.00 WIB, sekitar tujuh jam sejak air masuk menyapa rumahku, listrik di rumah menyusul padam. Mendadak sekitar rumahku menjadi ramai meski banjir. Hujan pun mulai reda. Orang-orang keluar karena gerah di dalam rumah. Mereka berbincang di tengah air banjir, bercerita tentang kondisi sanak dan saudara. Bahkan sebagian terlihat mengusung-usung sejumlah barang miliknya untuk pergi mengungsi. Hotel, apartemen, atau rumah sanak famili yang selamat.

Banyak ragam warga sekitar menyikapi banjir. Ada pula yang tenang, seolah sudah biasa. Mereka kongkow di pos sekuriti dengan yang lainnya, seperti hari-hari biasa. Mereka duduk di bangku dan meja yang terendam banjir sepaha orang dewasa. Mereka menikmati suasana sembari ngopi dan sebagian menghabiskan rokok di tangan.

Naluri jurnalistikku tergerak. Kurekam semua suasana di situ. Rencananya, gambar itu akan kukirim ke kantor melalui email. Tapi rupanya, listrik tak kunjung hidup. Hingga pukul 18.30, barulah kejap nyala lampu terasa. Dan saat itulah aku sudah disibukkan mengurusi rumah yang terendam. Video tadi tak jadi kukirim ke kantor. Aktivitas di rumah mulai berdenyut lagi. Tv bisa ditonton, komputer bisa menyala. Anak-anak sedikit terhibur. Sementara mataku masih tertumbuk pada genangan air di rumah. "Aduh, ini barang-barang bisa runyam kalo gak surut," batinku.

Malam kian larut. Anak-anakku sudah terlelap tidur. Beruntung mereka tidak rewel selama mata belum terpejam tidur. Mereka malah menikmati air seolah menjadi sahabat bermain. Mereka juga disibukkan dengan televisi yang cukup menghibur mereka dengan acara anak-anaknya.  Sementara malam itu, aku tak mudah memejamkan mata. Hingga pukul 02.30 WIB aku baru tertidur. Itupun di kamar depan sendirian, karena bersiaga. Hujan yang berulang kali reda dan deras datang tiba-tiba membuatku khawatir. Tapi lelah tak bisa kupungkiri. Aku terpejam mata hingga pagi.

Pagi, Jumat 19 Januari 2013
Saat terjaga, rupanya air masih menggenang, namun hujan sudah reda. Aku sedikit lega, meski cuaca di luar tidak bersahabat. Mendung gelap gulita. Sesaat kemudian sekitar pukul 09.30, terang sudah mulai menyapa. Aku meminta izin kepada isteri untuk berangkat ke kantor, meski rumah masih terendam air. Istriku mengizinkannya. Kusambar sepeda gunung, untuk keluar rumah mensurvei jalur keluar komplek menju kantor. "Nggak ngantor, pak... ?" tanya Ah Siong, tetangga rumah. Dari percakapan dengan orang inilah aku kemudian semakin yakin, jalur menuju kantor aman. Dan berangkatlah aku ke kantor. Sembari merampungkan tugas di kantor, kabar baik pun datang dari rumah. Isteri bilang, air sudah surut.

Malam hari sepulang kerja, aku langsung ganti baju, dan menyiapkan semua peralatan bersih-bersih rumah. Mengepel, menyemprot, dan mengangkut-angkut barang-barang' serta merapikannya. Tak cukup sehari merampungkannya. Sepekan pekerjaan itu barulah rampung. Sementara hati masih berdebar, mengingat Jakarta masih waspada hingga tengah Februari 2013.

Di sini makna hidup betul-betul kudapatkan. Betapa beratnya para korban banjir. Sementara di satu sisi, para juru warta bersuka cita mengabarkannya, demi komoditi berita. Tapi, ya begitulah hidup. Harus ada simbiose mutualisma. Setidaknya, dengan mengalaminya, seorang jurnalis akan lebih empati dan berhati-hati untuk mengabarkan suatu bencana. Disitulah nilai jurnalisme, dan tujuan mengabarkan sebuah bencana bisa bermanfaat. Bukan sekadar mencari sensasi dan menarik banyak penonton. Tapi membantu penonton, khususnya para korban bencana, bisa mendapatkan informasinyang akurat dan benar.

The End