KORAN TEMPO
Ringkas & Cergas
Data diambil dari edisi: Sabtu, 10 Maret 2007 Edisi No. 2068/Th. VI
40 halaman dalam tiga bagian
Harga Rp 2.700
Penerbit: PT Tempo Inti Media Harian
Corporate Chief Editor: Bambang Harymurti
Pemimpin Redaksi: S. Malela Mahargasarie
Pj. Redaktur Eksekutif: Gendur Sudarsono
Redaktur Senior: Fikri Jufri, Goenawan Mohamad, Leila S. Chudori, Putu Setia, Yusril Djalinus
Redaktur Utama: Burhan Solihin, Dian Basuki, Purwanto Setiadi, Wicaksono
Sekretariat Redaksi: Yoanida Rosita
Redaktur: Anne L. Handayani, Qaris Tadjudin, Sapto Yunus, Yudono Yanuar, Yuyun Nurrachman
Sidang Redaksi: Andree Priyanto, Andy Marhaendra, Ali Nur Yasin, Angela Dewi, Arif Firmansyah, Dedy Sinaga, Dewi Rina, Dody Hidayat, Dwi Arjanto, Eduardus Karel Dewanto, Endri Kurniawati, Eni Saeni, Firman ATmakusuma, Hari Prasetyo, Jajang Jamaludin, Juli Hantoro, Kelik M. Nugroho, Kurniawan, Lis Yuliawati, Meiriyon M., Mustafa Ismail, Nurdin Saleh, Nur Hidayat, Nurkhoiri, Padjar Iswara, Purwanto, Raju Febrian, Rita Nariswari, Setri Yasra, Sudrajat, Sukma N. Loppies, SS Kurniawan, Taufik Kamil, Tjandra Dewi Harjanti, Tommy Y. Aryanto, Utami Widowati, Yanto Musthofa, Zacharias Wuragil B.K.
Biro Jakarta: Amal Ihsan Hadian, Andi Dewanto, Budi Riza, FX Dimas Adityo, Efri Ritonga, Hadriani P., Indra Darmawan, Martha Warta S., Nunuy Nurhayati, Sita Planasari A., Yophiandi Kurniawan
Fotografi: Gatot Sriwidodo (Redaktur), Bernard Chaniago, Mahanizar Djohan, Yunizar Karim, Arie Basuki, Santirta M.
Desain: Eko Punto Pambudi, Ehwan Kurniawan, Gatot Pandego
Tata Letak: Achmad Budy, Ahmad Fatoni, Arief Mudi Handoko, Djunaedi, Erwin Santoso, Fuad H., Imam Riyadi Untung, Kuswoyo, Mistono, Muhammad Rafki, Rudy Asrori
Ilustrator: Gaus Surahman, Imam Yunni
Infografer: Machfoed Gembong
Redaktur Usaha: Hasto Pratikto, Alvinda, Dewi Kartika Teguh W, Elan Maolana Setiajid, Habib Rifa’i, Iyan Bastian
TEMPO NEWS ROOM, TEMPOINTERAKTIF, PUSAT DATA dan ANALISA TEMPO
Pemimpin Redaksi: S. Malela Mahargasarie
Pj. Redaktur Eksekutif: Daru Priyambodo
Redaktur Utama: Mardiyah Chamim, Teguh, Tulus Wijanarko
Redaktur: Elik Susanto (Koordinator Liputan Daerah).
Sidang Redaksi: Ali Anwar, Fajar W.H., Grace S. Gandhi, Jobpie Sugiharto, Purwani Diyah Prabandari
Biro Jakarta: Agus Supriyanto, Ami Afriatni, Angelus Tito, Anton Aprianto, Badriah, Dian Yuliastuti, Erwin Prima, Erwin Daryanto, Fanny Febiana, Harun Mahbub, Ibnu Rusydi, Indriani Diah S., Maria Ulfah, Oktamandjaya, Raden Rachmadi, Rini Kustiani, Rr. Ariyani, Sutarto, SUryani Ika Sari, Yudha Setiawan, Yuliawati
Daerah: Jalil Hakim (Surabaya), L.N. Idayani (Yogyakarta), Rinny Srihartini (Bandung), R. Fadjri (Yogyakarta), Zed Abidien (Surabaya)
Riset: Ngarto Februana (Pj. Kepala Bagian), Aris Mustafa, Indra Mutiara, Muchtar Wijaya, Titis Hutami, Viva Kusnandar
Penerbitan: Sri Mulungsih, Sri Indrayati
Iklan: Gabriel Sugrahetty (Kepala Divisi), Meiky Sofyansah, Prasidono Listiaji, Nurulita Pasaribu, Tanti Jumiati, Tito Prabowo, Rino Ashari, Doni Kresnadi, Adeliesna Sari, Haderis Alkaf, Sulis Prasetyo, Kemas M. Ridwan
Sirkulasi & Distribusi: Shanty Nurpatria (Kepala Bagian Sirkulasi Eceran dan Luar Kota), Ja’far Irham (Kepala Bagian Sirkulasi Langganan), Ismet Tamara (Kepala Bagian Distribusi)
Direktur Utama: Ir. Leonardi Kusen, MBA
Direktur: Bambang Harymurti, Herry Hernawan, Toriq Hadad, Yusril Djalinus, Zulkifly Lubis
Alamat Redaksi & Iklan: Kebayoran Centre Blok A11-A15 Jalan Kebayoran Baru Mayestik, Jakarta 12240. Telp. 021-7255625 Faks. 725-5645/50 E-mail: koran@tempo.co.id
Alamat Pemasaran: Jalan Pelmerah Barat No. 8 Jakarta 12210, Telp. 021-5360409 Faks. 021-5349569
Harga: Eceran rp. 2.700 Langganan Rp 60.000 Untuk wilayah Jabotabek, Bandung, Serang, dan Lampung. Luar wilayah tersebut: ditambah ongkos kirim.
Customer Service: telp. 021-5360409/70749261 Ext. 307/310/481/334 Faks. 021-5349569
E-mail: cs@tempo.co.id
Website: www.korantempo.com
Selasa, 28 Februari 2012
CATATAN AKHIR SEJARAH VIOSVELD
Hentikan
mesin itu," teriak Victor Sitanggang sambil bergegas menghampiri Kepala
Keamanan dan Ketertiban Peme-rintah Daerah Kota Madya Ja-karta Pusat,
Harianto Bajuri. Raut wajah Ketua Bidang Hukum Persatu-an Sepak Bola
Indonesia Jakarta itu me-merah. Jari telunjuknya menuding empat buldoser
yang menghancurkan Stadion Menteng, Rabu pekan lalu.
Teriakan
Victor sejenak membuyarkan kerja para sopir mesin berat itu. Namun,
buru-buru muncul suara melengking dari seorang petugas keamanan dan
ketertiban di arena eksekusi. "Te-ruskan!" kata petugas itu menghardik
si sopir. Teriakan Victor pun tak mempan. Buum...braak.... Pintu,
dinding, dan tribun stadion ambruk. Eksekusi berlangsung hingga malam.
Esok harinya buldoser beraksi lagi, tanpa perlawanan.
Sedikitnya
1.250 petugas tramtib di-bantu polisi dan tentara membongkar stadion
yang dipakai Persija sejak 1960 itu. Dulu stadion ini dikenal sebagai
Viosveld, kependekan dari Voetbalbond Indiesche Omstreken Sport,
lapangan klub sepak bola Belanda di Batavia. Di lahan bekas bangunan
karya arsitek Belanda F.J. Kubatz dan P.A.J. Moojen pada 1921 itu bakal
dibuat Taman Menteng. Dananya Rp 32 miliar, dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah 2006.
Proses
eksekusi semula tak mulus. Petu-g-as bentrok dengan 50 orang peng-urus
Per-sija dan 30 klub sepak bola yang me-no-lak eksekusi. Mereka
menghadang di pin-tu stadion sejak pagi hari. Dua orang le-bam kena
gebuk petugas dalam ak-si ini.
Bentrokan
berhenti setelah petugas menjebol barisan massa. Pasukan biru itu
merangsek masuk, lalu mengeluarkan kursi-kursi, meja, loker, arsip,
foto-foto Ketua Persija dari 1930-an, dan ratusan trofi. Semua dibiarkan
berserak di lapang. "Kalian tak tahu sejarah," kata Miftah N. Sabri,
salah satu orang di antara massa, sambil memungut barang-barang itu.
Eksekusi ini spontan menjadi tontonan warga dan para pemulung.
Victor
menuding eksekusi itu menyala-hi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005
tentang Sistem Keolahragaan Nasio-nal. Penggusuran itu tanpa
rekomen-dasi Menteri Pemuda dan Olahraga se-perti dalam aturan hukum
itu. Pembangunan taman kota yang mengalihkan fungsi fasilitas olahraga
jelas memer-lukan re-komendasi tersebut. "Tapi ini tidak ada," katanya
kepada Tempo pekan lalu.
Pemerintah
juga dituding menging-kari Surat Kesepakatan Nomor 728/073.51
ter-tanggal 15 Mei 2005. Tanah stadion seluas 35 ribu meter persegi itu
masih men-jadi hak guna bangunan dan lahan Persija. Hak itu belum
berubah selama belum ada kesepakatan Persija dan Pe-me-rintah DKI.
Victor
merasa pemerintah telah meng-akali Persija. Dia menceritakan, markas
Persija semula di Lapangan IKADA-Monumen Nasional-mulai pindah ke
Menteng pada 1960. Pemindahan itu karena Monas sedang dibangun dan
Pre-siden Soekarno menghibahkan stadion ke Persija. Status hibah ini
yang kemu-dian dipegang pengurus, hingga tak se-ge-ra membuatkan akta.
Kekecewaan
pun membuhul tahun lalu ketika pengurus hendak membuat akta tanah
stadion. Pemerintah ternyata diam-diam mengaktakan stadion itu ke Badan
Pertanahan Nasional, lima tahun sebelumnya. Persija cuma disebut punya
hak guna bangunan dan lahan itu dinyatakan sebagai tanah kosong, meski
ada stadion dan Wisma Persija.
Pemerintah
DKI Jakarta lantas digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara-. Tapi usaha
ini gagal. Persija lalu meng-gugat ke pengadilan negeri. Proses hukum
belum kelar, di tengah jalan pe-merin-tah memaksa Persija pindah markas
ke belakang ruko di kawasan Roxy dengan lahan setengah luas Menteng.
"Pengurus menolak," kata Sekretaris Persija, Biner Tobing.
Rencana
eksekusi itu pernah dilapor-kan Victor dan Biner kepada Ketua Komisi
Bidang Olahraga DPR, Heri Achmadi. Tapi langkah itu nihil. Pekan- lalu,
-pengurus Persija kian berang se-telah -stadion betul dieksekusi. Wali
Kota Jakarta Pusat Muhayat dilaporkan ke Kepolisian Daerah Metro Jaya
atas peng-usiran paksa dengan kekerasan. -Mu-ha-yat tak gentar.
"Silakan, hak warga un-tuk melapor ke polisi," ujar Muha-yat.
Kemarahan
ikut mampir ke Mente-ri Pemuda dan Olahraga. Menteri Adhyaksa geram
karena tidak diberi kabar tentang eksekusi. Dia berencana menem-puh
jalur hukum bila Taman Menteng dilengkapi bangunan untuk usaha
komersial. Wakil Presiden Jusuf Kalla segera turun tangan memanggil
Menteri Adhyaksa dan Gubernur DKI Sutiyoso. Disepakati, tim pemerintah
DKI harus memaparkan rencana Taman Menteng pada Selasa pekan ini.
Kepala
Biro Hukum Pemerintah DKI Jakarta, Journal Siahaan, menegaskan eksekusi
itu sah. Pengadilan mengizin-kan pengosongan stadion karena putus-an
sela status quo telah keluar. Ini diperkuat surat persetujuan 55 warga
Men-teng kepada gubernur, 11 Juni 2005. "Dalam status quo, lokasi bisa
dikosongkan," kata dia.
Dasar
hukum lainnya adalah Surat Perintah Gubernur DKI Nomor 50/2006 tentang
Penertiban Stadion Menteng, dan surat perintah pembongkaran berdasarkan
Undang-Undang Nomor 80/2005 tentang Tata Kota. Dengan dasar itu pula,
menurut Journal Siahaan, izin menteri tak perlu lagi. Alasannya,
relokasi tidak mengubah peruntukan, cuma mena-mbah fungsi dan sarana
olahraga yang dise-imbangkan dengan ruang terbuka hijau.
Sarana
itu untuk olahraga futsal, jogging, badminton, dan lainnya. Sumber lain
menyebutkan, di bekas Wisma Persija dibangun gedung parkir tiga lantai
berkapasitas 200 mobil. Lantai- dasar gedung untuk kantor pengelola dan
17 kios. Taman juga dilengkapi dua galeri rumah kaca dan monumen sepak
bola berbentuk gawang. "Te-nder pengembang- -sedang berjalan dan
di-umumkan 5 Agustus," katanya.
Menurut
Ketua Arsitektur Lanskap Indonesia, Yudi Nirwono Joga, Peme-rintah DKI
Jakarta melanggar Surat Keputusan Gubernur Nomor D.IV-6098/d/33/1975.
Surat pada masa Gubernur Ali Sadikin ini menetapkan Menteng sebagai
kawasan pemugaran, termasuk Stadion Menteng. "Kawasan ini dilin-dungi,
dilestarikan, dan dikembangkan hati-hati sebagai lanskap cagar budaya,"
kata Yudi kepada Tempo pekan lalu.
Ini
diperkuat oleh Undang-Undang No-mor 5 Tahun 1992 tentang Benda Ca-gar
Bu-daya dan Peraturan Daerah Nomor 9/1999 tentang Pelestarian dan
Pe-manfaatan Lingkungan Bangunan Benda Ca-gar Budaya. Berdasarkan
itulah-, Stadion Menteng masuk kategori ca-gar bu-da-ya karena berusia
lebih dari 50 t-ahun.
Yudi
menilai alasan pemerintah mengubah lapangan olahraga menjadi taman kota
jelas berbeda. Keduanya ber-beda karakter dan fungsi dalam komponen
utama ruang terbuka hijau kota. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14-
Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Hijau Perkotaan jelas mensyaratkan
pen-tingnya lapangan olahraga publik.
Namun,
bagi Yudi, yang terpenting adalah nilai sejarah. Stadion ini telah
melahirkan pesepak bola nasional se-perti Djamiat Dhalhar, Anjas Asmara,
Rahmad Darmawan, atau Ronny Pattinasarani. "Sejarah inilah unsur cagar
budaya," katanya. Dia mengusulkan renovasi tetap mempertahankan lapangan
sepak bola.
Gubernur
Sutiyoso tahun lalu pe-rnah mengakui Stadion Menteng adalah bagian dari
cagar budaya. Tapi sekarang dia mengatakan bangunan bersejarah itu tak
harus dilindungi. Dia merenca-nakan Stadion Menteng diganti de-ngan
lahan hijau dan menjadi Monumen Nasional kedua. Penggusuran stadion itu
katanya untuk mengejar kebutuhan 14 persen ruang terbuka hijau di
Jakarta, dari angka sembilan persen sekarang. "Stadion itu tidak
maksimal, hanya -untuk latihan Persija dan klub-klub kecil," katanya.
Sutiyoso
pun tak menampik adanya sejumlah pengembang yang melamar untuk mengubah
lahan stadion menjadi apartemen atau mal. Tapi dia menolak. Mantan
Panglima Kodam Jaya itu bahkan berani bertaruh. "Potong kaki saya begitu
ada komersialisasi."
Percaya atau tidak, itu terserah Anda.
Eduardus Karel Dewanto, Reh Atemalem Susanti, dan Indriani Dyah S.
ASEP SEKARANG "LARIS MANIS"
Sabtu, Agustus 16, 2008
Hakim Asep Iwan Iriawan : Naik Angkot, Hilangkan Jejak
Profesi hakim rentan suap dan ancaman. Hakim Asep yang memvonis mati lima terdakwa kasus heroin, memilih naik angkutan umum untuk menghindari ancaman dan tak mau menerima tamu di rumah agar setan suap tak mampir.
Penembakan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita oleh orang-orang Tommy Soeharto saat mau ke kantor membuat Hakim Asep Iwan Iriawan, harus mengubah jadwal pergi dan pulang dari kantornya. ‘’Kami hakim di Jakarta Pusat takut dan berhati-hati, bagaimanapun profesi hakim rentan dari ancaman,’’kata Asep. Ia mengaku belajar dari ayahnya, Abidin Sukarjo, pensiunan tentara dari kesatuan Kodam Siliwangi, Jawa Barat.
Hakim Asep tak pernah meninggalkan jejaknya selama perjalanan pulang dari kantor. Kendati pulang menggunakan angkutan umum ataupun diantar rekannya, tak pernah sampai di depan rumahnya. Ia turun di jalan dan memilih untuk berjalan-jalan lebih dulu. Sehari-hari pada waktu kerja pria berkaca minus bulat bening itu berangkat dari rumahnya saat matahari baru nongol dari ufuk timur, pukul enam pagi. Berjalan kaki, menuju halte di depan bekas perkulakan Goro, di Jalan Raya Pasar Minggu, lalu naik metromini menuju Tanah Abang. Setelah itu berganti lagi mikrolet jurusan Kota, dan turun persis di depan kantornya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada. Sebenarnya Asep punya mobil Escudo , tetapi mobil itu diberikan kepada adiknya. ‘’Saya tak bisa menyetir,’’ujarnya.
Itu bukan alasan sebenarnya, ia tak mau terlacak. Ikuti saja, kalau pulang Asep memilih jalur lain, rutenya pun berubah-ubah tiap hari. Ia bisa jalan-jalan dulu ke Blok M Mall, Pasar Minggu atau pusat perbelanjaan lainnya. Kalaupun ia memilih pulang menumpang kendaraan temannya sesama hakim, tak pernah mau diantar sampai depan rumah. Karena itu ia menolak diikuti atau memberitahu alamat rumahnya pada Eduardus Karel Dewanto dari Tempo News Room. ‘’Saya jangan diikuti dan profil saya jangan ditulis,’’kata pria yang lahir di Bandung 10 Juni 40 tahun yang lalu
Kebiasaan itu dimulai setelah Hakim Asep bersama Satria US Gumay dan Prim Haryadi yang pernah dikenal sebagai ‘tiga serangkai’ memvonis hukuman mati terhadap lima terdakwa pengedar heroin di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten. Tiga terdakwa terakhir adalah orang Indonesia ; Meirika Franola atau Ola, yang membawa 3.600 gram heroin, Rani Andriani alias Melisa Aprilia pemilik 3.500 gram kokain dan dan Deni Setia Maharwan alias Rapi Mohamed Majid pembawa 3.000 gram kokain. ‘’Ola itu adalah perempuan Indonesia pertama yang dihukum mati dalam kasus narkotika,’’kata Asep. Sebelum itu dua orang lelaki berkebangsaan Nepal yang juga kena palu ‘mati’ Hakim Asep, yaitu Nar Bahadur Tamang dan Bala Tamang, keduanya masing-masing membawa 1.750 gram heroin
Namun, bukan berarti Asep takut dalam menjalankan tugasnya, untuk memutuskan perkara seadil-adilnya berdasarkan hati nurani. Walaupun dari palunya, saat menjadi hakim di Pengadilan Negeri Tangerang, sudah mengantarkan orang ke juru tembak. Menurut Asep timnya, majelis hakim yang memutuskan perkara terdakwa pengedar heroin itu sudah memikirkan masak-masak. ‘’Secara yuridis, mereka terbukti bersalah selama persidangan. Secara filosofis harus dihukum, karena kesalahannya berat hukumannya juga harus berat, hukuman maksimal yang bisa dijatuhkan oleh hukum kita adalah hukuman mati. Karena itu kita matiin aja. Lagipula itu sesuai dengan kehendak masyarakat,kan yang ingin hukuman seberat-beratnya pada pengedar narkoba,’’katanya. Sayangnya semua terpidana mati, diubah menjadi hukuman seumur hidup oleh hakim agung di tingkat kasasi, Mahkamah Agung.
Reputasinya sebagai hakim anti narkotika dan obat terlarang mengantar Asep menjadi hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kiprahnya pun lantas melejit sebagai hakim pengadilan umum dan niaga. Ia pernah memutus perkara kepemilikan senjata dengan terdakwa Hutami Endang Adiningsih alias Mamiek, puteri bungsu mantan presiden Soeharto. Ia juga memutus perkara kepemilikan narkoba dengan terdakwa aktor Hengki Tornando, perkara korupsi yang Hendra Raharja dengan peradilan in absentia, perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dengan terdakwa Gubernur Syahril Sabirin dan Direktur Utama Bank Surya, Bambang Sutrisno.
Dalam kasus peradilan in absentia Hendra Rahardja yang kabur ke Australia, Hakim Asep bahkan mengusir pengacara O.C.Kaligis. Akibatnya Kaligis mengirim surat melaporkan tingkahnya ke Mahkamah Agung. ‘’Biar saja dia melapor, MA tahu kok yang mana yang salah yang mana yang benar,’’katanya. Memang, surat Kaligis tak berbunyi menghadapi Hakim Asep, karena MA tak mempersoalkannya.
Tapi sejak menangani kasus-kasus perbankan di PN Jakarta Pusat tak urung ia diisukan makan uang suap Rp 30 miliar dari Bambang Sutrisno. Namun, tak ada bukti dan tak ada yang mempercayainya. ‘’Nggak mungkin dari sejak kuliah saya tahu Asep orangnya jujur dan tegas,’’kata seorang kawannya sesama hakim. Asep juga membantah isu itu, “Kalau saya menerima, saya rela dihukum seumur hidup.”
Hakim Asep pun menganggap tudingan itu tak sesuai dengan langkah yang ia lakukan terhadap perkara-perkara itu. Bila tak bersikap tegas, tak akan mengganjar hukuman seumur hidup bagi Hendra Raharja dan hukuman mati bagi pengedar narkoba. “Saya sudah melakukan itu, ngapain saya harus menerima uang sebesar itu,’’ katanya. Hakim Asep juga merahasiakan rumah dinas yang ditinggalinya. Ia punya Komitmen tak menerima tamu di luar jam kerja, apa lagi di rumahnya. ‘’Rumah hanya tempat untuk istirahat. Selain di kantor saya tidak pernah menerima tamu. Bahkan ibu saya belum pernah menginjakkan kakinya di rumah saya,”ujar lulusan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan , Bandung. Kenapa? “Saya takut dituduh macam-macam kalau menerima tamu di rumah. Sekarang kan tudingan hakim menerima suap sangat kencang,”kata Hakim yang kini tengah mengambil program master dibidang hukum bisnis.
Sehari-hari Asep tampil sederhana, tak tampak barang mewah atau pakaian branded yang melekat ditubuhnya. Asep merasa gaji Rp 3,5 juta perbulan, cukup baginya yang masih bujangan. Ia dan beberapa hakim yang seide ingin menghapus imej buruk hakim. ‘’Walaupun Asep anak orang kaya, ia tak ingin menunjukkan kekayaannya. Sampai sekarang orang tetap jujur, tetapi kalau sudah memutus perkara dan tanpa tedeng aling-aling, kalau salah ya, dihukum berat, tanpa kompromi,’’kata kawan satu kampus dan kinis ama-sama bertugas di PN Jakarta Pusat. namanya.
Ketegasan Hakim Asep juga dipuji mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Bambang Widjojanto. ‘’Asep, salah satu hakim baik, yang kita miliki. Ini investasi masa depan, dia itu hakim yang langka, di tengah citra buruk hakim saat ini,’’ujar Bambang. Hakim Asep lebih memilih ke Cipanas, Jawa Barat tempat ibunya setiap kali setelah menjatuhkan hukuman yang berat kasus yang ditanganinya. Bukan ke tempat lain. ‘’Bersama ibu saya merasa aman,’’katanya.
Ahmad Taufik
Profil
Asep Iwan Iriawan
Lahir di Bandung 10 Juni 1962
Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahiyangan(1981- 1985)
STIA LAN Bandung(1994-1996)
Aktif di Organisasi :
Saat masih mahasiswa aktif menjadi anggota Senat dan Badan Pertimbangan Mahasiswa Universitas Parahiyangan, juga aktif di di Masjid SALMAN, ITB, Bandung.
Sekretaris I pengurus Pusat IKAHI
Bendahara Ikatan Hakim Indonesia(IKAHI), Muara Enim 1991
Karir :
Calon Hakim Pengadilan Negeri Bandung(1987-1991)
Hakim Pengadilan Negeri Muara Enim(1991-1993)
MA(bagian Puslitbang Diklat) 1993-1999
Hakim Pengadilan Negeri Tangerang(1999-2000)
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat(2000)
Jabatan :Hakim Niaga Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
Penembakan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita oleh orang-orang Tommy Soeharto saat mau ke kantor membuat Hakim Asep Iwan Iriawan, harus mengubah jadwal pergi dan pulang dari kantornya. ‘’Kami hakim di Jakarta Pusat takut dan berhati-hati, bagaimanapun profesi hakim rentan dari ancaman,’’kata Asep. Ia mengaku belajar dari ayahnya, Abidin Sukarjo, pensiunan tentara dari kesatuan Kodam Siliwangi, Jawa Barat.
Hakim Asep tak pernah meninggalkan jejaknya selama perjalanan pulang dari kantor. Kendati pulang menggunakan angkutan umum ataupun diantar rekannya, tak pernah sampai di depan rumahnya. Ia turun di jalan dan memilih untuk berjalan-jalan lebih dulu. Sehari-hari pada waktu kerja pria berkaca minus bulat bening itu berangkat dari rumahnya saat matahari baru nongol dari ufuk timur, pukul enam pagi. Berjalan kaki, menuju halte di depan bekas perkulakan Goro, di Jalan Raya Pasar Minggu, lalu naik metromini menuju Tanah Abang. Setelah itu berganti lagi mikrolet jurusan Kota, dan turun persis di depan kantornya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada. Sebenarnya Asep punya mobil Escudo , tetapi mobil itu diberikan kepada adiknya. ‘’Saya tak bisa menyetir,’’ujarnya.
Itu bukan alasan sebenarnya, ia tak mau terlacak. Ikuti saja, kalau pulang Asep memilih jalur lain, rutenya pun berubah-ubah tiap hari. Ia bisa jalan-jalan dulu ke Blok M Mall, Pasar Minggu atau pusat perbelanjaan lainnya. Kalaupun ia memilih pulang menumpang kendaraan temannya sesama hakim, tak pernah mau diantar sampai depan rumah. Karena itu ia menolak diikuti atau memberitahu alamat rumahnya pada Eduardus Karel Dewanto dari Tempo News Room. ‘’Saya jangan diikuti dan profil saya jangan ditulis,’’kata pria yang lahir di Bandung 10 Juni 40 tahun yang lalu
Kebiasaan itu dimulai setelah Hakim Asep bersama Satria US Gumay dan Prim Haryadi yang pernah dikenal sebagai ‘tiga serangkai’ memvonis hukuman mati terhadap lima terdakwa pengedar heroin di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten. Tiga terdakwa terakhir adalah orang Indonesia ; Meirika Franola atau Ola, yang membawa 3.600 gram heroin, Rani Andriani alias Melisa Aprilia pemilik 3.500 gram kokain dan dan Deni Setia Maharwan alias Rapi Mohamed Majid pembawa 3.000 gram kokain. ‘’Ola itu adalah perempuan Indonesia pertama yang dihukum mati dalam kasus narkotika,’’kata Asep. Sebelum itu dua orang lelaki berkebangsaan Nepal yang juga kena palu ‘mati’ Hakim Asep, yaitu Nar Bahadur Tamang dan Bala Tamang, keduanya masing-masing membawa 1.750 gram heroin
Namun, bukan berarti Asep takut dalam menjalankan tugasnya, untuk memutuskan perkara seadil-adilnya berdasarkan hati nurani. Walaupun dari palunya, saat menjadi hakim di Pengadilan Negeri Tangerang, sudah mengantarkan orang ke juru tembak. Menurut Asep timnya, majelis hakim yang memutuskan perkara terdakwa pengedar heroin itu sudah memikirkan masak-masak. ‘’Secara yuridis, mereka terbukti bersalah selama persidangan. Secara filosofis harus dihukum, karena kesalahannya berat hukumannya juga harus berat, hukuman maksimal yang bisa dijatuhkan oleh hukum kita adalah hukuman mati. Karena itu kita matiin aja. Lagipula itu sesuai dengan kehendak masyarakat,kan yang ingin hukuman seberat-beratnya pada pengedar narkoba,’’katanya. Sayangnya semua terpidana mati, diubah menjadi hukuman seumur hidup oleh hakim agung di tingkat kasasi, Mahkamah Agung.
Reputasinya sebagai hakim anti narkotika dan obat terlarang mengantar Asep menjadi hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kiprahnya pun lantas melejit sebagai hakim pengadilan umum dan niaga. Ia pernah memutus perkara kepemilikan senjata dengan terdakwa Hutami Endang Adiningsih alias Mamiek, puteri bungsu mantan presiden Soeharto. Ia juga memutus perkara kepemilikan narkoba dengan terdakwa aktor Hengki Tornando, perkara korupsi yang Hendra Raharja dengan peradilan in absentia, perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dengan terdakwa Gubernur Syahril Sabirin dan Direktur Utama Bank Surya, Bambang Sutrisno.
Dalam kasus peradilan in absentia Hendra Rahardja yang kabur ke Australia, Hakim Asep bahkan mengusir pengacara O.C.Kaligis. Akibatnya Kaligis mengirim surat melaporkan tingkahnya ke Mahkamah Agung. ‘’Biar saja dia melapor, MA tahu kok yang mana yang salah yang mana yang benar,’’katanya. Memang, surat Kaligis tak berbunyi menghadapi Hakim Asep, karena MA tak mempersoalkannya.
Tapi sejak menangani kasus-kasus perbankan di PN Jakarta Pusat tak urung ia diisukan makan uang suap Rp 30 miliar dari Bambang Sutrisno. Namun, tak ada bukti dan tak ada yang mempercayainya. ‘’Nggak mungkin dari sejak kuliah saya tahu Asep orangnya jujur dan tegas,’’kata seorang kawannya sesama hakim. Asep juga membantah isu itu, “Kalau saya menerima, saya rela dihukum seumur hidup.”
Hakim Asep pun menganggap tudingan itu tak sesuai dengan langkah yang ia lakukan terhadap perkara-perkara itu. Bila tak bersikap tegas, tak akan mengganjar hukuman seumur hidup bagi Hendra Raharja dan hukuman mati bagi pengedar narkoba. “Saya sudah melakukan itu, ngapain saya harus menerima uang sebesar itu,’’ katanya. Hakim Asep juga merahasiakan rumah dinas yang ditinggalinya. Ia punya Komitmen tak menerima tamu di luar jam kerja, apa lagi di rumahnya. ‘’Rumah hanya tempat untuk istirahat. Selain di kantor saya tidak pernah menerima tamu. Bahkan ibu saya belum pernah menginjakkan kakinya di rumah saya,”ujar lulusan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan , Bandung. Kenapa? “Saya takut dituduh macam-macam kalau menerima tamu di rumah. Sekarang kan tudingan hakim menerima suap sangat kencang,”kata Hakim yang kini tengah mengambil program master dibidang hukum bisnis.
Sehari-hari Asep tampil sederhana, tak tampak barang mewah atau pakaian branded yang melekat ditubuhnya. Asep merasa gaji Rp 3,5 juta perbulan, cukup baginya yang masih bujangan. Ia dan beberapa hakim yang seide ingin menghapus imej buruk hakim. ‘’Walaupun Asep anak orang kaya, ia tak ingin menunjukkan kekayaannya. Sampai sekarang orang tetap jujur, tetapi kalau sudah memutus perkara dan tanpa tedeng aling-aling, kalau salah ya, dihukum berat, tanpa kompromi,’’kata kawan satu kampus dan kinis ama-sama bertugas di PN Jakarta Pusat. namanya.
Ketegasan Hakim Asep juga dipuji mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Bambang Widjojanto. ‘’Asep, salah satu hakim baik, yang kita miliki. Ini investasi masa depan, dia itu hakim yang langka, di tengah citra buruk hakim saat ini,’’ujar Bambang. Hakim Asep lebih memilih ke Cipanas, Jawa Barat tempat ibunya setiap kali setelah menjatuhkan hukuman yang berat kasus yang ditanganinya. Bukan ke tempat lain. ‘’Bersama ibu saya merasa aman,’’katanya.
Ahmad Taufik
Profil
Asep Iwan Iriawan
Lahir di Bandung 10 Juni 1962
Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahiyangan(1981- 1985)
STIA LAN Bandung(1994-1996)
Aktif di Organisasi :
Saat masih mahasiswa aktif menjadi anggota Senat dan Badan Pertimbangan Mahasiswa Universitas Parahiyangan, juga aktif di di Masjid SALMAN, ITB, Bandung.
Sekretaris I pengurus Pusat IKAHI
Bendahara Ikatan Hakim Indonesia(IKAHI), Muara Enim 1991
Karir :
Calon Hakim Pengadilan Negeri Bandung(1987-1991)
Hakim Pengadilan Negeri Muara Enim(1991-1993)
MA(bagian Puslitbang Diklat) 1993-1999
Hakim Pengadilan Negeri Tangerang(1999-2000)
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat(2000)
Jabatan :Hakim Niaga Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
Label: Tokoh
Langganan:
Postingan (Atom)