Selasa, 28 Februari 2012

BANGGA PERNAH TERTOREH DI SINI

KORAN TEMPO

Ringkas & Cergas

Data diambil dari edisi: Sabtu, 10 Maret 2007 Edisi No. 2068/Th. VI

40 halaman dalam tiga bagian

Harga Rp 2.700
Penerbit: PT Tempo Inti Media Harian
Corporate Chief Editor: Bambang Harymurti
Pemimpin Redaksi: S. Malela Mahargasarie
Pj. Redaktur Eksekutif: Gendur Sudarsono
Redaktur Senior: Fikri Jufri, Goenawan Mohamad, Leila S. Chudori, Putu Setia, Yusril Djalinus
Redaktur Utama: Burhan Solihin, Dian Basuki, Purwanto Setiadi, Wicaksono
Sekretariat Redaksi: Yoanida Rosita
Redaktur: Anne L. Handayani, Qaris Tadjudin, Sapto Yunus, Yudono Yanuar, Yuyun Nurrachman
Sidang Redaksi: Andree Priyanto, Andy Marhaendra, Ali Nur Yasin, Angela Dewi, Arif Firmansyah, Dedy Sinaga, Dewi Rina, Dody Hidayat, Dwi Arjanto, Eduardus Karel Dewanto, Endri Kurniawati, Eni Saeni, Firman ATmakusuma, Hari Prasetyo, Jajang Jamaludin, Juli Hantoro, Kelik M. Nugroho, Kurniawan, Lis Yuliawati, Meiriyon M., Mustafa Ismail, Nurdin Saleh, Nur Hidayat, Nurkhoiri, Padjar Iswara, Purwanto, Raju Febrian, Rita Nariswari, Setri Yasra, Sudrajat, Sukma N. Loppies, SS Kurniawan, Taufik Kamil, Tjandra Dewi Harjanti, Tommy Y. Aryanto, Utami Widowati, Yanto Musthofa, Zacharias Wuragil B.K.
Biro Jakarta: Amal Ihsan Hadian, Andi Dewanto, Budi Riza, FX Dimas Adityo, Efri Ritonga, Hadriani P., Indra Darmawan, Martha Warta S., Nunuy Nurhayati, Sita Planasari A., Yophiandi Kurniawan
Fotografi: Gatot Sriwidodo (Redaktur), Bernard Chaniago, Mahanizar Djohan, Yunizar Karim, Arie Basuki, Santirta M.
Desain: Eko Punto Pambudi, Ehwan Kurniawan, Gatot Pandego
Tata Letak: Achmad Budy, Ahmad Fatoni, Arief Mudi Handoko, Djunaedi, Erwin Santoso, Fuad H., Imam Riyadi Untung, Kuswoyo, Mistono, Muhammad Rafki, Rudy Asrori
Ilustrator: Gaus Surahman, Imam Yunni
Infografer: Machfoed Gembong
Redaktur Usaha: Hasto Pratikto, Alvinda, Dewi Kartika Teguh W, Elan Maolana Setiajid, Habib Rifa’i, Iyan Bastian
TEMPO NEWS ROOM, TEMPOINTERAKTIF, PUSAT DATA dan ANALISA TEMPO
Pemimpin Redaksi: S. Malela Mahargasarie
Pj. Redaktur Eksekutif: Daru Priyambodo
Redaktur Utama: Mardiyah Chamim, Teguh, Tulus Wijanarko
Redaktur: Elik Susanto (Koordinator Liputan Daerah).
Sidang Redaksi: Ali Anwar, Fajar W.H., Grace S. Gandhi, Jobpie Sugiharto, Purwani Diyah Prabandari
Biro Jakarta: Agus Supriyanto, Ami Afriatni, Angelus Tito, Anton Aprianto, Badriah, Dian Yuliastuti, Erwin Prima, Erwin Daryanto, Fanny Febiana, Harun Mahbub, Ibnu Rusydi, Indriani Diah S., Maria Ulfah, Oktamandjaya, Raden Rachmadi, Rini Kustiani, Rr. Ariyani, Sutarto, SUryani Ika Sari, Yudha Setiawan, Yuliawati
Daerah: Jalil Hakim (Surabaya), L.N. Idayani (Yogyakarta), Rinny Srihartini (Bandung), R. Fadjri (Yogyakarta), Zed Abidien (Surabaya)
Riset: Ngarto Februana (Pj. Kepala Bagian), Aris Mustafa, Indra Mutiara, Muchtar Wijaya, Titis Hutami, Viva Kusnandar
Penerbitan: Sri Mulungsih, Sri Indrayati
Iklan: Gabriel Sugrahetty (Kepala Divisi), Meiky Sofyansah, Prasidono Listiaji, Nurulita Pasaribu, Tanti Jumiati, Tito Prabowo, Rino Ashari, Doni Kresnadi, Adeliesna Sari, Haderis Alkaf, Sulis Prasetyo, Kemas M. Ridwan
Sirkulasi & Distribusi: Shanty Nurpatria (Kepala Bagian Sirkulasi Eceran dan Luar Kota), Ja’far Irham (Kepala Bagian Sirkulasi Langganan), Ismet Tamara (Kepala Bagian Distribusi)
Direktur Utama: Ir. Leonardi Kusen, MBA
Direktur: Bambang Harymurti, Herry Hernawan, Toriq Hadad, Yusril Djalinus, Zulkifly Lubis

Alamat Redaksi & Iklan: Kebayoran Centre Blok A11-A15 Jalan Kebayoran Baru Mayestik, Jakarta 12240. Telp. 021-7255625 Faks. 725-5645/50 E-mail: koran@tempo.co.id

Alamat Pemasaran: Jalan Pelmerah Barat No. 8 Jakarta 12210, Telp. 021-5360409 Faks. 021-5349569

Harga: Eceran rp. 2.700 Langganan Rp 60.000 Untuk wilayah Jabotabek, Bandung, Serang, dan Lampung. Luar wilayah tersebut: ditambah ongkos kirim.

Customer Service: telp. 021-5360409/70749261 Ext. 307/310/481/334 Faks. 021-5349569

E-mail: cs@tempo.co.id

Website: www.korantempo.com

CATATAN AKHIR SEJARAH VIOSVELD

Hentikan mesin itu," teriak Victor Sitanggang sambil bergegas menghampiri Kepala Keamanan dan Ketertiban Peme-rintah Daerah Kota Madya Ja-karta Pusat, Harianto Bajuri. Raut wajah Ketua Bidang Hukum Persatu-an Sepak Bola Indonesia Jakarta itu me-merah. Jari telunjuknya menuding empat buldoser yang menghancurkan Stadion Menteng, Rabu pekan lalu.
Teriakan Victor sejenak membuyarkan kerja para sopir mesin berat itu. Namun, buru-buru muncul suara melengking dari seorang petugas keamanan dan ketertiban di arena eksekusi. "Te-ruskan!" kata petugas itu menghardik si sopir. Teriakan Victor pun tak mempan. Buum...braak.... Pintu, dinding, dan tribun stadion ambruk. Eksekusi berlangsung hingga malam. Esok harinya buldoser beraksi lagi, tanpa perlawanan.
Sedikitnya 1.250 petugas tramtib di-bantu polisi dan tentara membongkar stadion yang dipakai Persija sejak 1960 itu. Dulu stadion ini dikenal sebagai Viosveld, kependekan dari Voetbalbond Indiesche Omstreken Sport, lapangan klub sepak bola Belanda di Batavia. Di lahan bekas bangunan karya arsitek Belanda F.J. Kubatz dan P.A.J. Moojen pada 1921 itu bakal dibuat Taman Menteng. Dananya Rp 32 miliar, dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2006.
Proses eksekusi semula tak mulus. Petu-g-as bentrok dengan 50 orang peng-urus Per-sija dan 30 klub sepak bola yang me-no-lak eksekusi. Mereka menghadang di pin-tu stadion sejak pagi hari. Dua orang le-bam kena gebuk petugas dalam ak-si ini.
Bentrokan berhenti setelah petugas menjebol barisan massa. Pasukan biru itu merangsek masuk, lalu mengeluarkan kursi-kursi, meja, loker, arsip, foto-foto Ketua Persija dari 1930-an, dan ratusan trofi. Semua dibiarkan berserak di lapang. "Kalian tak tahu sejarah," kata Miftah N. Sabri, salah satu orang di antara massa, sambil memungut barang-barang itu. Eksekusi ini spontan menjadi tontonan warga dan para pemulung.
Victor menuding eksekusi itu menyala-hi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasio-nal. Penggusuran itu tanpa rekomen-dasi Menteri Pemuda dan Olahraga se-perti dalam aturan hukum itu. Pembangunan taman kota yang mengalihkan fungsi fasilitas olahraga jelas memer-lukan re-komendasi tersebut. "Tapi ini tidak ada," katanya kepada Tempo pekan lalu.
Pemerintah juga dituding menging-kari Surat Kesepakatan Nomor 728/073.51 ter-tanggal 15 Mei 2005. Tanah stadion seluas 35 ribu meter persegi itu masih men-jadi hak guna bangunan dan lahan Persija. Hak itu belum berubah selama belum ada kesepakatan Persija dan Pe-me-rintah DKI.
Victor merasa pemerintah telah meng-akali Persija. Dia menceritakan, markas Persija semula di Lapangan IKADA-Monumen Nasional-mulai pindah ke Menteng pada 1960. Pemindahan itu karena Monas sedang dibangun dan Pre-siden Soekarno menghibahkan stadion ke Persija. Status hibah ini yang kemu-dian dipegang pengurus, hingga tak se-ge-ra membuatkan akta.
Kekecewaan pun membuhul tahun lalu ketika pengurus hendak membuat akta tanah stadion. Pemerintah ternyata diam-diam mengaktakan stadion itu ke Badan Pertanahan Nasional, lima tahun sebelumnya. Persija cuma disebut punya hak guna bangunan dan lahan itu dinyatakan sebagai tanah kosong, meski ada stadion dan Wisma Persija.
Pemerintah DKI Jakarta lantas digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara-. Tapi usaha ini gagal. Persija lalu meng-gugat ke pengadilan negeri. Proses hukum belum kelar, di tengah jalan pe-merin-tah memaksa Persija pindah markas ke belakang ruko di kawasan Roxy dengan lahan setengah luas Menteng. "Pengurus menolak," kata Sekretaris Persija, Biner Tobing.
Rencana eksekusi itu pernah dilapor-kan Victor dan Biner kepada Ketua Komisi Bidang Olahraga DPR, Heri Achmadi. Tapi langkah itu nihil. Pekan- lalu, -pengurus Persija kian berang se-telah -stadion betul dieksekusi. Wali Kota Jakarta Pusat Muhayat dilaporkan ke Kepolisian Daerah Metro Jaya atas peng-usiran paksa dengan kekerasan. -Mu-ha-yat tak gentar. "Silakan, hak warga un-tuk melapor ke polisi," ujar Muha-yat.
Kemarahan ikut mampir ke Mente-ri Pemuda dan Olahraga. Menteri Adhyaksa geram karena tidak diberi kabar tentang eksekusi. Dia berencana menem-puh jalur hukum bila Taman Menteng dilengkapi bangunan untuk usaha komersial. Wakil Presiden Jusuf Kalla segera turun tangan memanggil Menteri Adhyaksa dan Gubernur DKI Sutiyoso. Disepakati, tim pemerintah DKI harus memaparkan rencana Taman Menteng pada Selasa pekan ini.
Kepala Biro Hukum Pemerintah DKI Jakarta, Journal Siahaan, menegaskan eksekusi itu sah. Pengadilan mengizin-kan pengosongan stadion karena putus-an sela status quo telah keluar. Ini diperkuat surat persetujuan 55 warga Men-teng kepada gubernur, 11 Juni 2005. "Dalam status quo, lokasi bisa dikosongkan," kata dia.
Dasar hukum lainnya adalah Surat Perintah Gubernur DKI Nomor 50/2006 tentang Penertiban Stadion Menteng, dan surat perintah pembongkaran berdasarkan Undang-Undang Nomor 80/2005 tentang Tata Kota. Dengan dasar itu pula, menurut Journal Siahaan, izin menteri tak perlu lagi. Alasannya, relokasi tidak mengubah peruntukan, cuma mena-mbah fungsi dan sarana olahraga yang dise-imbangkan dengan ruang terbuka hijau.
Sarana itu untuk olahraga futsal, jogging, badminton, dan lainnya. Sumber lain menyebutkan, di bekas Wisma Persija dibangun gedung parkir tiga lantai berkapasitas 200 mobil. Lantai- dasar gedung untuk kantor pengelola dan 17 kios. Taman juga dilengkapi dua galeri rumah kaca dan monumen sepak bola berbentuk gawang. "Te-nder pengembang- -sedang berjalan dan di-umumkan 5 Agustus," katanya.
Menurut Ketua Arsitektur Lanskap Indonesia, Yudi Nirwono Joga, Peme-rintah DKI Jakarta melanggar Surat Keputusan Gubernur Nomor D.IV-6098/d/33/1975. Surat pada masa Gubernur Ali Sadikin ini menetapkan Menteng sebagai kawasan pemugaran, termasuk Stadion Menteng. "Kawasan ini dilin-dungi, dilestarikan, dan dikembangkan hati-hati sebagai lanskap cagar budaya," kata Yudi kepada Tempo pekan lalu.
Ini diperkuat oleh Undang-Undang No-mor 5 Tahun 1992 tentang Benda Ca-gar Bu-daya dan Peraturan Daerah Nomor 9/1999 tentang Pelestarian dan Pe-manfaatan Lingkungan Bangunan Benda Ca-gar Budaya. Berdasarkan itulah-, Stadion Menteng masuk kategori ca-gar bu-da-ya karena berusia lebih dari 50 t-ahun.
Yudi menilai alasan pemerintah mengubah lapangan olahraga menjadi taman kota jelas berbeda. Keduanya ber-beda karakter dan fungsi dalam komponen utama ruang terbuka hijau kota. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14- Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Hijau Perkotaan jelas mensyaratkan pen-tingnya lapangan olahraga publik.
Namun, bagi Yudi, yang terpenting adalah nilai sejarah. Stadion ini telah melahirkan pesepak bola nasional se-perti Djamiat Dhalhar, Anjas Asmara, Rahmad Darmawan, atau Ronny Pattinasarani. "Sejarah inilah unsur cagar budaya," katanya. Dia mengusulkan renovasi tetap mempertahankan lapangan sepak bola.
Gubernur Sutiyoso tahun lalu pe-rnah mengakui Stadion Menteng adalah bagian dari cagar budaya. Tapi sekarang dia mengatakan bangunan bersejarah itu tak harus dilindungi. Dia merenca-nakan Stadion Menteng diganti de-ngan lahan hijau dan menjadi Monumen Nasional kedua. Penggusuran stadion itu katanya untuk mengejar kebutuhan 14 persen ruang terbuka hijau di Jakarta, dari angka sembilan persen sekarang. "Stadion itu tidak maksimal, hanya -untuk latihan Persija dan klub-klub kecil," katanya.
Sutiyoso pun tak menampik adanya sejumlah pengembang yang melamar untuk mengubah lahan stadion menjadi apartemen atau mal. Tapi dia menolak. Mantan Panglima Kodam Jaya itu bahkan berani bertaruh. "Potong kaki saya begitu ada komersialisasi."
Percaya atau tidak, itu terserah Anda.
Eduardus Karel Dewanto, Reh Atemalem Susanti, dan Indriani Dyah S.

ASEP SEKARANG "LARIS MANIS"

Sabtu, Agustus 16, 2008


Hakim Asep Iwan Iriawan : Naik Angkot, Hilangkan Jejak

Profesi hakim rentan suap dan ancaman. Hakim Asep yang memvonis mati lima terdakwa kasus heroin, memilih naik angkutan umum untuk menghindari ancaman dan tak mau menerima tamu di rumah agar setan suap tak mampir.

Penembakan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita oleh orang-orang Tommy Soeharto saat mau ke kantor membuat Hakim Asep Iwan Iriawan, harus mengubah jadwal pergi dan pulang dari kantornya. ‘’Kami hakim di Jakarta Pusat takut dan berhati-hati, bagaimanapun profesi hakim rentan dari ancaman,’’kata Asep. Ia mengaku belajar dari ayahnya, Abidin Sukarjo, pensiunan tentara dari kesatuan Kodam Siliwangi, Jawa Barat.

Hakim Asep tak pernah meninggalkan jejaknya selama perjalanan pulang dari kantor. Kendati pulang menggunakan angkutan umum ataupun diantar rekannya, tak pernah sampai di depan rumahnya. Ia turun di jalan dan memilih untuk berjalan-jalan lebih dulu. Sehari-hari pada waktu kerja pria berkaca minus bulat bening itu berangkat dari rumahnya saat matahari baru nongol dari ufuk timur, pukul enam pagi. Berjalan kaki, menuju halte di depan bekas perkulakan Goro, di Jalan Raya Pasar Minggu, lalu naik metromini menuju Tanah Abang. Setelah itu berganti lagi mikrolet jurusan Kota, dan turun persis di depan kantornya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada. Sebenarnya Asep punya mobil Escudo , tetapi mobil itu diberikan kepada adiknya. ‘’Saya tak bisa menyetir,’’ujarnya.

Itu bukan alasan sebenarnya, ia tak mau terlacak. Ikuti saja, kalau pulang Asep memilih jalur lain, rutenya pun berubah-ubah tiap hari. Ia bisa jalan-jalan dulu ke Blok M Mall, Pasar Minggu atau pusat perbelanjaan lainnya. Kalaupun ia memilih pulang menumpang kendaraan temannya sesama hakim, tak pernah mau diantar sampai depan rumah. Karena itu ia menolak diikuti atau memberitahu alamat rumahnya pada Eduardus Karel Dewanto dari Tempo News Room. ‘’Saya jangan diikuti dan profil saya jangan ditulis,’’kata pria yang lahir di Bandung 10 Juni 40 tahun yang lalu

Kebiasaan itu dimulai setelah Hakim Asep bersama Satria US Gumay dan Prim Haryadi yang pernah dikenal sebagai ‘tiga serangkai’ memvonis hukuman mati terhadap lima terdakwa pengedar heroin di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten. Tiga terdakwa terakhir adalah orang Indonesia ; Meirika Franola atau Ola, yang membawa 3.600 gram heroin, Rani Andriani alias Melisa Aprilia pemilik 3.500 gram kokain dan dan Deni Setia Maharwan alias Rapi Mohamed Majid pembawa 3.000 gram kokain. ‘’Ola itu adalah perempuan Indonesia pertama yang dihukum mati dalam kasus narkotika,’’kata Asep. Sebelum itu dua orang lelaki berkebangsaan Nepal yang juga kena palu ‘mati’ Hakim Asep, yaitu Nar Bahadur Tamang dan Bala Tamang, keduanya masing-masing membawa 1.750 gram heroin

Namun, bukan berarti Asep takut dalam menjalankan tugasnya, untuk memutuskan perkara seadil-adilnya berdasarkan hati nurani. Walaupun dari palunya, saat menjadi hakim di Pengadilan Negeri Tangerang, sudah mengantarkan orang ke juru tembak. Menurut Asep timnya, majelis hakim yang memutuskan perkara terdakwa pengedar heroin itu sudah memikirkan masak-masak. ‘’Secara yuridis, mereka terbukti bersalah selama persidangan. Secara filosofis harus dihukum, karena kesalahannya berat hukumannya juga harus berat, hukuman maksimal yang bisa dijatuhkan oleh hukum kita adalah hukuman mati. Karena itu kita matiin aja. Lagipula itu sesuai dengan kehendak masyarakat,kan yang ingin hukuman seberat-beratnya pada pengedar narkoba,’’katanya. Sayangnya semua terpidana mati, diubah menjadi hukuman seumur hidup oleh hakim agung di tingkat kasasi, Mahkamah Agung.

Reputasinya sebagai hakim anti narkotika dan obat terlarang mengantar Asep menjadi hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kiprahnya pun lantas melejit sebagai hakim pengadilan umum dan niaga. Ia pernah memutus perkara kepemilikan senjata dengan terdakwa Hutami Endang Adiningsih alias Mamiek, puteri bungsu mantan presiden Soeharto. Ia juga memutus perkara kepemilikan narkoba dengan terdakwa aktor Hengki Tornando, perkara korupsi yang Hendra Raharja dengan peradilan in absentia, perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dengan terdakwa Gubernur Syahril Sabirin dan Direktur Utama Bank Surya, Bambang Sutrisno.

Dalam kasus peradilan in absentia Hendra Rahardja yang kabur ke Australia, Hakim Asep bahkan mengusir pengacara O.C.Kaligis. Akibatnya Kaligis mengirim surat melaporkan tingkahnya ke Mahkamah Agung. ‘’Biar saja dia melapor, MA tahu kok yang mana yang salah yang mana yang benar,’’katanya. Memang, surat Kaligis tak berbunyi menghadapi Hakim Asep, karena MA tak mempersoalkannya.

Tapi sejak menangani kasus-kasus perbankan di PN Jakarta Pusat tak urung ia diisukan makan uang suap Rp 30 miliar dari Bambang Sutrisno. Namun, tak ada bukti dan tak ada yang mempercayainya. ‘’Nggak mungkin dari sejak kuliah saya tahu Asep orangnya jujur dan tegas,’’kata seorang kawannya sesama hakim. Asep juga membantah isu itu, “Kalau saya menerima, saya rela dihukum seumur hidup.”

Hakim Asep pun menganggap tudingan itu tak sesuai dengan langkah yang ia lakukan terhadap perkara-perkara itu. Bila tak bersikap tegas, tak akan mengganjar hukuman seumur hidup bagi Hendra Raharja dan hukuman mati bagi pengedar narkoba. “Saya sudah melakukan itu, ngapain saya harus menerima uang sebesar itu,’’ katanya. Hakim Asep juga merahasiakan rumah dinas yang ditinggalinya. Ia punya Komitmen tak menerima tamu di luar jam kerja, apa lagi di rumahnya. ‘’Rumah hanya tempat untuk istirahat. Selain di kantor saya tidak pernah menerima tamu. Bahkan ibu saya belum pernah menginjakkan kakinya di rumah saya,”ujar lulusan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan , Bandung. Kenapa? “Saya takut dituduh macam-macam kalau menerima tamu di rumah. Sekarang kan tudingan hakim menerima suap sangat kencang,”kata Hakim yang kini tengah mengambil program master dibidang hukum bisnis.

Sehari-hari Asep tampil sederhana, tak tampak barang mewah atau pakaian branded yang melekat ditubuhnya. Asep merasa gaji Rp 3,5 juta perbulan, cukup baginya yang masih bujangan. Ia dan beberapa hakim yang seide ingin menghapus imej buruk hakim. ‘’Walaupun Asep anak orang kaya, ia tak ingin menunjukkan kekayaannya. Sampai sekarang orang tetap jujur, tetapi kalau sudah memutus perkara dan tanpa tedeng aling-aling, kalau salah ya, dihukum berat, tanpa kompromi,’’kata kawan satu kampus dan kinis ama-sama bertugas di PN Jakarta Pusat. namanya.

Ketegasan Hakim Asep juga dipuji mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Bambang Widjojanto. ‘’Asep, salah satu hakim baik, yang kita miliki. Ini investasi masa depan, dia itu hakim yang langka, di tengah citra buruk hakim saat ini,’’ujar Bambang. Hakim Asep lebih memilih ke Cipanas, Jawa Barat tempat ibunya setiap kali setelah menjatuhkan hukuman yang berat kasus yang ditanganinya. Bukan ke tempat lain. ‘’Bersama ibu saya merasa aman,’’katanya.

Ahmad Taufik


Profil
Asep Iwan Iriawan
Lahir di Bandung 10 Juni 1962
Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahiyangan(1981- 1985)
STIA LAN Bandung(1994-1996)

Aktif di Organisasi :

Saat masih mahasiswa aktif menjadi anggota Senat dan Badan Pertimbangan Mahasiswa Universitas Parahiyangan, juga aktif di di Masjid SALMAN, ITB, Bandung.
Sekretaris I pengurus Pusat IKAHI
Bendahara Ikatan Hakim Indonesia(IKAHI), Muara Enim 1991

Karir :

Calon Hakim Pengadilan Negeri Bandung(1987-1991)
Hakim Pengadilan Negeri Muara Enim(1991-1993)
MA(bagian Puslitbang Diklat) 1993-1999
Hakim Pengadilan Negeri Tangerang(1999-2000)
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat(2000)
Jabatan :Hakim Niaga Pengadilan Niaga Jakarta Pusat