Hentikan
mesin itu," teriak Victor Sitanggang sambil bergegas menghampiri Kepala
Keamanan dan Ketertiban Peme-rintah Daerah Kota Madya Ja-karta Pusat,
Harianto Bajuri. Raut wajah Ketua Bidang Hukum Persatu-an Sepak Bola
Indonesia Jakarta itu me-merah. Jari telunjuknya menuding empat buldoser
yang menghancurkan Stadion Menteng, Rabu pekan lalu.
Teriakan
Victor sejenak membuyarkan kerja para sopir mesin berat itu. Namun,
buru-buru muncul suara melengking dari seorang petugas keamanan dan
ketertiban di arena eksekusi. "Te-ruskan!" kata petugas itu menghardik
si sopir. Teriakan Victor pun tak mempan. Buum...braak.... Pintu,
dinding, dan tribun stadion ambruk. Eksekusi berlangsung hingga malam.
Esok harinya buldoser beraksi lagi, tanpa perlawanan.
Sedikitnya
1.250 petugas tramtib di-bantu polisi dan tentara membongkar stadion
yang dipakai Persija sejak 1960 itu. Dulu stadion ini dikenal sebagai
Viosveld, kependekan dari Voetbalbond Indiesche Omstreken Sport,
lapangan klub sepak bola Belanda di Batavia. Di lahan bekas bangunan
karya arsitek Belanda F.J. Kubatz dan P.A.J. Moojen pada 1921 itu bakal
dibuat Taman Menteng. Dananya Rp 32 miliar, dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah 2006.
Proses
eksekusi semula tak mulus. Petu-g-as bentrok dengan 50 orang peng-urus
Per-sija dan 30 klub sepak bola yang me-no-lak eksekusi. Mereka
menghadang di pin-tu stadion sejak pagi hari. Dua orang le-bam kena
gebuk petugas dalam ak-si ini.
Bentrokan
berhenti setelah petugas menjebol barisan massa. Pasukan biru itu
merangsek masuk, lalu mengeluarkan kursi-kursi, meja, loker, arsip,
foto-foto Ketua Persija dari 1930-an, dan ratusan trofi. Semua dibiarkan
berserak di lapang. "Kalian tak tahu sejarah," kata Miftah N. Sabri,
salah satu orang di antara massa, sambil memungut barang-barang itu.
Eksekusi ini spontan menjadi tontonan warga dan para pemulung.
Victor
menuding eksekusi itu menyala-hi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005
tentang Sistem Keolahragaan Nasio-nal. Penggusuran itu tanpa
rekomen-dasi Menteri Pemuda dan Olahraga se-perti dalam aturan hukum
itu. Pembangunan taman kota yang mengalihkan fungsi fasilitas olahraga
jelas memer-lukan re-komendasi tersebut. "Tapi ini tidak ada," katanya
kepada Tempo pekan lalu.
Pemerintah
juga dituding menging-kari Surat Kesepakatan Nomor 728/073.51
ter-tanggal 15 Mei 2005. Tanah stadion seluas 35 ribu meter persegi itu
masih men-jadi hak guna bangunan dan lahan Persija. Hak itu belum
berubah selama belum ada kesepakatan Persija dan Pe-me-rintah DKI.
Victor
merasa pemerintah telah meng-akali Persija. Dia menceritakan, markas
Persija semula di Lapangan IKADA-Monumen Nasional-mulai pindah ke
Menteng pada 1960. Pemindahan itu karena Monas sedang dibangun dan
Pre-siden Soekarno menghibahkan stadion ke Persija. Status hibah ini
yang kemu-dian dipegang pengurus, hingga tak se-ge-ra membuatkan akta.
Kekecewaan
pun membuhul tahun lalu ketika pengurus hendak membuat akta tanah
stadion. Pemerintah ternyata diam-diam mengaktakan stadion itu ke Badan
Pertanahan Nasional, lima tahun sebelumnya. Persija cuma disebut punya
hak guna bangunan dan lahan itu dinyatakan sebagai tanah kosong, meski
ada stadion dan Wisma Persija.
Pemerintah
DKI Jakarta lantas digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara-. Tapi usaha
ini gagal. Persija lalu meng-gugat ke pengadilan negeri. Proses hukum
belum kelar, di tengah jalan pe-merin-tah memaksa Persija pindah markas
ke belakang ruko di kawasan Roxy dengan lahan setengah luas Menteng.
"Pengurus menolak," kata Sekretaris Persija, Biner Tobing.
Rencana
eksekusi itu pernah dilapor-kan Victor dan Biner kepada Ketua Komisi
Bidang Olahraga DPR, Heri Achmadi. Tapi langkah itu nihil. Pekan- lalu,
-pengurus Persija kian berang se-telah -stadion betul dieksekusi. Wali
Kota Jakarta Pusat Muhayat dilaporkan ke Kepolisian Daerah Metro Jaya
atas peng-usiran paksa dengan kekerasan. -Mu-ha-yat tak gentar.
"Silakan, hak warga un-tuk melapor ke polisi," ujar Muha-yat.
Kemarahan
ikut mampir ke Mente-ri Pemuda dan Olahraga. Menteri Adhyaksa geram
karena tidak diberi kabar tentang eksekusi. Dia berencana menem-puh
jalur hukum bila Taman Menteng dilengkapi bangunan untuk usaha
komersial. Wakil Presiden Jusuf Kalla segera turun tangan memanggil
Menteri Adhyaksa dan Gubernur DKI Sutiyoso. Disepakati, tim pemerintah
DKI harus memaparkan rencana Taman Menteng pada Selasa pekan ini.
Kepala
Biro Hukum Pemerintah DKI Jakarta, Journal Siahaan, menegaskan eksekusi
itu sah. Pengadilan mengizin-kan pengosongan stadion karena putus-an
sela status quo telah keluar. Ini diperkuat surat persetujuan 55 warga
Men-teng kepada gubernur, 11 Juni 2005. "Dalam status quo, lokasi bisa
dikosongkan," kata dia.
Dasar
hukum lainnya adalah Surat Perintah Gubernur DKI Nomor 50/2006 tentang
Penertiban Stadion Menteng, dan surat perintah pembongkaran berdasarkan
Undang-Undang Nomor 80/2005 tentang Tata Kota. Dengan dasar itu pula,
menurut Journal Siahaan, izin menteri tak perlu lagi. Alasannya,
relokasi tidak mengubah peruntukan, cuma mena-mbah fungsi dan sarana
olahraga yang dise-imbangkan dengan ruang terbuka hijau.
Sarana
itu untuk olahraga futsal, jogging, badminton, dan lainnya. Sumber lain
menyebutkan, di bekas Wisma Persija dibangun gedung parkir tiga lantai
berkapasitas 200 mobil. Lantai- dasar gedung untuk kantor pengelola dan
17 kios. Taman juga dilengkapi dua galeri rumah kaca dan monumen sepak
bola berbentuk gawang. "Te-nder pengembang- -sedang berjalan dan
di-umumkan 5 Agustus," katanya.
Menurut
Ketua Arsitektur Lanskap Indonesia, Yudi Nirwono Joga, Peme-rintah DKI
Jakarta melanggar Surat Keputusan Gubernur Nomor D.IV-6098/d/33/1975.
Surat pada masa Gubernur Ali Sadikin ini menetapkan Menteng sebagai
kawasan pemugaran, termasuk Stadion Menteng. "Kawasan ini dilin-dungi,
dilestarikan, dan dikembangkan hati-hati sebagai lanskap cagar budaya,"
kata Yudi kepada Tempo pekan lalu.
Ini
diperkuat oleh Undang-Undang No-mor 5 Tahun 1992 tentang Benda Ca-gar
Bu-daya dan Peraturan Daerah Nomor 9/1999 tentang Pelestarian dan
Pe-manfaatan Lingkungan Bangunan Benda Ca-gar Budaya. Berdasarkan
itulah-, Stadion Menteng masuk kategori ca-gar bu-da-ya karena berusia
lebih dari 50 t-ahun.
Yudi
menilai alasan pemerintah mengubah lapangan olahraga menjadi taman kota
jelas berbeda. Keduanya ber-beda karakter dan fungsi dalam komponen
utama ruang terbuka hijau kota. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14-
Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Hijau Perkotaan jelas mensyaratkan
pen-tingnya lapangan olahraga publik.
Namun,
bagi Yudi, yang terpenting adalah nilai sejarah. Stadion ini telah
melahirkan pesepak bola nasional se-perti Djamiat Dhalhar, Anjas Asmara,
Rahmad Darmawan, atau Ronny Pattinasarani. "Sejarah inilah unsur cagar
budaya," katanya. Dia mengusulkan renovasi tetap mempertahankan lapangan
sepak bola.
Gubernur
Sutiyoso tahun lalu pe-rnah mengakui Stadion Menteng adalah bagian dari
cagar budaya. Tapi sekarang dia mengatakan bangunan bersejarah itu tak
harus dilindungi. Dia merenca-nakan Stadion Menteng diganti de-ngan
lahan hijau dan menjadi Monumen Nasional kedua. Penggusuran stadion itu
katanya untuk mengejar kebutuhan 14 persen ruang terbuka hijau di
Jakarta, dari angka sembilan persen sekarang. "Stadion itu tidak
maksimal, hanya -untuk latihan Persija dan klub-klub kecil," katanya.
Sutiyoso
pun tak menampik adanya sejumlah pengembang yang melamar untuk mengubah
lahan stadion menjadi apartemen atau mal. Tapi dia menolak. Mantan
Panglima Kodam Jaya itu bahkan berani bertaruh. "Potong kaki saya begitu
ada komersialisasi."
Percaya atau tidak, itu terserah Anda.
Eduardus Karel Dewanto, Reh Atemalem Susanti, dan Indriani Dyah S.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar