Senin, 29 Oktober 2012

Papua Riwayatmu Dulu



Budaya dan Modernisasi Pengaruhi Perilaku Seks

Sebuah penelitian yang dikomandoi Lesslie Butt Ph.d, seorang peneliti Aksi Stop AIDS Family Health International (ASA/FHI) bekerja sama dengan United State Agency for International Development (USAID) dan Lembaga Penelitian Universitas Cendrawasih menggali hubungan antara rata-rata infeksi HIV/AIDS dan kebudayaan dan perubahan sosial di Papua. Alasannya sejumlah penelitian menyebutkan bahwa 97 persen faktor penyebaran HIV/AIDS di Papua melalui hubungan seksual. Propinsi ini memiliki prevalensi kasus HIV/AIDS paling tinggi di Indonesia.

Data Dinas Kesehatan Propinsi Papua menyebutkan kasus HIV/AIDS di wilayahnya mencapai 634 kasus per 31 Oktober 2001. Dalam satu tahun ini, kasus tersebut telah meningkat sepertiga dibanding tahun lalu. Sebagian besar penyebarannya diketahui akibat hubungan heteroseksual maupun homoseksual. Sementara sedikit lainnya terjadi pada proses kehamilan bayi dan transfusi darah.

Menurut Lesslie Butt yang juga pengajar di Universitas Victoria Australia, perspektif budaya dan modernisasi memiliki efek besar mempengaruhi kegiatan seksualitas sehari-hari. Kepercayaan kematian, kecantikan, nafsu, acara perkawinan maupun berpacaran. Namun perubahan sosial sangat besar terpengaruh sistem keuangan global dan pemerintahan. Begitu pula masih kuatnya sistem lokal seperti sanksi dan pembayaran mas kawin.

Dampak modernisasi lingkungan seksual Papua di antaranya komersialisasi hubungan seksual, konsep dan perilaku baru, perubahan struktur perkawinan dan tanggungjawab keluarga. Efek modernisasi menyebabkan seks komersial lebih tersebar luas melalui mobilitas ke kota. Ini didorong hal-hal baru seperti film porno dan minuman keras.

Penelitian 14 hari ini dilakukan dengan mengumpulkan data kualitatif dan kuantitatif melalui survei seksualitas umum di Kabupaten Merauke, Jayawijaya, Jayapura dan Sorong. Metode lainnya travel diaries untuk mendapatkan informasi kebenaran tinggi tentang perilaku seksual sehari-hari. Termasuk melihat sejauh mana hubungan antara pelaku seksual dan faktor-faktor lain seperti pemakaian kondom, pola minum dan mobilitas.

Prosentase responden yang melakukan hubungan seks dengan lebih satu pasangan dalam tahun terakhir sejumlah 29 persen dan 27 persen pada satu pasangan. Rata-rata penyakit menular seksual 16 persen dengan perbedaan selisih gender minimal. Pengaruh budaya terhadap perilaku seksual itu termasuk sistem sanksi atau denda bila terjadi hubungan di luar pernikahan, perubahan pembayaran mas kawin dan cara perkawinan seperti poligami.

Ada empat macam perilaku seksual berisiko tinggi dalam masyarakat. Di antaranya prosentase responden yang berhubungan seks pertama kali di bawah umur 16 tahun, seks laki-laki di atas umur 30 tahun dengan wanita di bawah usia 20 tahun remaja 25 tahun yang pernah berhubungan seks sebelum usia 20 tahun dan yang pernah melakukan seks antre. Semua itu berkaitan dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS dan penggunaan kondom. Responden yang pernah mendengar HIV/AIDS dan yang bisa menyebut kondom masih kecil.

Seks komersial adalah sistem hubungan seks resmi yang terbagi beberapa tingkat. Drs. Jake Morin M.Kes salah satu peneliti ASA/FHI mengatakan, waria merupakan risiko tinggi seksual di Abepura dan Sorong berjumlah 225 orang. Mereka banyak tinggal sendiri, menyewa kamar terlepas dari keluarga. Pekerjaan waria bervariasi. Ada di bar, pekerja seks jalanan, pegawai negeri, pegawai swasta dan pegawai salon. "Pekerjaan di salon merupakan proporsi paling banyak. Dan frekuensi penggunaan dan pengetahuan kondom sangat rendah." ujar Morin,

Sedangkan kelompok risiko tinggi pekerja seks komersial (PSK) di Papua kurang lebih 2000 orang di kota. Tempat tinggalnya di kamar sewaan. kelab malam, lokalisasi dan rumah pribadi. Para pekerja seks di Merauke, Wamena dan Sorong berasal dari berbagai daerah. Mayoritas pekeda seks 'terbuka' di jalanan adalah wanita asli Papua. Pekerja seks di bar, lokalisasi dan terselubung adalah pendatang. Sedangkan pekerja seks jalanan tertutup (hubungan seks di kamar hotel atau di rumah) campuran pendatang dan Papua.

Penelitian ini memberi tiga rekomendasi pencegahan melalui perubahan perilaku, pencegahan lewat promosi solidaritas masyarakat dan pencegahan kelompok risiko tinggi. Secara umum harus mencegah dengan menaikkan kesadaran pamakaian kondom di desa, karena kesempatan hubungan seksualnya sama tinggi dengan kota. Selain itu, program mengedarkan masyarakat soal masalah remaja sangat diperlukan. Untuk waria harus dibangun program menaikkan kesadaran bersama dengan masyarakat secara umum tentang bahaya seks anal tanpa kondom. eduardus karel dewanto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar