Atas Nama Malayu Patani
20 Januari 2007
Konflik bersenjata di Thailand Selatan terus berkecamuk. Pemerintah enggan
berunding dengan pemberontak.
Dua orang yang berboncengan sepeda motor muncul dari balik kabut pagi di Yala,
Thailand Selatan, Senin pekan lalu. Si pembonceng tiba-tiba mengangkat senapan
yang disandangnya, membidik seorang lelaki yang sedang membuka kedai di simpang
jalan. Lelaki itu, Abdulmanan Jaesaw, 34 tahun, roboh seketika. Kepalanya
bocor, darah mengucur deras. Tamat.
Abdulmanan dikenal propemerintah. Guru mengaji itu menyokong kampanye
perdamaian di Thailand Selatan, dekat perbatasan Malaysia. Gerai miliknya turut
mencetak poster dan spanduk berisi pesan damai. Karena itu, polisi segera
menuding kelompok militan muslim sebagai pelaku pembunuhan. ”Mereka jaringan
militan di selatan,” kata Komandan Polisi Kota Yala, Kolonel Parnpitak
Thepchudeang.
Pekan sebelumnya, dua warga Buddha Yala juga tewas dalam serangan serupa.
Sukit Yingsong, 28 tahun, relawan perdamaian, dan ayahnya yang lumpuh, Kan
Yingsong, 60 tahun, diguyur peluru kelompok bertopeng. Pada hari yang sama,
Maae Wantae, 37 tahun, Wakil Kepala Desa Rangae, distrik Provinsi Narathiwat,
tewas diserang kelompok bersenjata.
Selama 20 bulan konflik di Thailand Selatan, sudah ada 870 korban jiwa.
Ketegangan bermula ketika Januari tahun lalu sekelompok massa bersenjata
menyerbu tangsi di Narathiwat. Empat serdadu tewas, 300 pucuk senjata dan
amunisi lenyap. Pemerintah melakukan serangan balasan yang menewaskan 108 orang
pada 28 April. Setelah itu, 87 aktivis Islam Patani tewas kehabisan napas
karena ditumpuk di truk setelah berunjuk rasa di Kota Tak Bai, Oktober
lalu.
Sejak dua peristiwa itu, Thailand Selatan, yang banyak dihuni kelompok
minoritas muslim, semakin panas. Gerilyawan menyerang aparat dan warga
propemerintah. Juli lalu, pemerintah memberlakukan undang-undang darurat untuk
meredam perlawanan. Di bawah undang-undang itu, aparat boleh menahan orang yang
dicurigai selama tujuh hari, menyensor surat kabar, dan menyadap pembicaraan
telepon.
Masalahnya tetap tak selesai. Serangan kini justru meruyak ke sekolah, pos
polisi, dan barak-barak militer di tiga provinsi di selatan: Yala, Patani, dan
Narathiwat. Selebaran gelap tulisan tangan
tanpa identitas beredar di mana-mana. Warga yang beraktivitas pada hari Jumat
diancam bakal dipotong telinganya. Ekor itu nyaris lumpuh.
Pekan lalu, untuk pertama kalinya Organisasi Pembebasan Patani Bersatu,
PULO, menyatakan diri sebagai kelompok yang bertanggung jawab atas semua aksi
itu. Menurut juru bicara PULO, berbagai aksi itu adalah bagian dari perjuangan
kemerdekaan suku Melayu di Thailand. ”Tujuan kami merebut kembali hak kami,”
kata tokoh yang merahasiakan identitasnya itu. ”Patani milik kaum Melayu.” Ia
mengaku tak punya hubungan dengan jaringan Al-Qaidah maupun Jamaah
Islamiyah.
Perdana Menteri Thaksin Shinawatra ketar-ketir juga oleh maraknya aksi
pembunuhan dalam tiga pekan terakhir. Apalagi popularitasnya sedang terjun
bebas ke titik nadir. Karena itu, ia memperketat undang-undang darurat: masa
penahanan orang yang dicurigai diperpanjang hingga 30 hari, tanpa dakwaan.
”Senat akan voting dan saya harap bisa diterima,” katanya kepada Radio
Nederland.
Kampanye perdamaian tetap dikibarkan. Untuk meyakinkan warga, Thaksin turun
ke pasar-pasar, pertokoan, perkantoran, dan permukiman warga muslim maupun
Buddha. Burung-burung kertas simbol damai
disebarluaskan. Di warung-warung teh, layanan TV kabel ditawarkan untuk
hiburan.
Di tengah gencarnya kampanye perdamaian, petinggi PULO mengklaim telah
bertemu Thaksin pada 24-27 Agustus di Lausanne, Swiss, untuk membicarakan upaya
damai. Tapi klaim ini segera dibantah pemerintah. ”Klaim itu hanya untuk
membuat kaum militan seolah penting,” kata Deputi Perdana Menteri Chidchai
Vanasathidya. Di depan ribuan warga Buddha dan muslim Patani, Menteri
Pertahanan Thamarak Isarangura malah berjanji menambah pasukan. Nah!
Eduardus Karel Dewanto (Bangkok Post, Reuters, Aljazeera, Khaleed Times,
AFP)
Sumber: Majalah Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar