Senin, 29 Oktober 2012

Apa Kabarmu Papua ?

HIV/AIDS Mencengkeram Papua


HIV/AIDS Mencengkeram Papua
Informasi dikumpulkan oleh relawan YAI
Dokumentasi Koran Tempo
Senin, 26 November 2001

Bupati Merauke John Glupe Gepze menabuh genderang perang terhadap HIV/AIDS. "Kita nyatakan HIV/AIDS sebagai musuh kita. Ini keadaan darurat." Penderita HIV/AIDS di Papua per 31 Oktober sebanyak 634 jiwa.

Sayup-sayup dentuman musik keras berirama disko dangdut terdengar halus bila menyusuri jalan tanah setapak di sebuah sudut Kabupaten Merauke. Semakin mendekat, dentuman musik itu semakin jelas meraung-raung dari dalam sebuah kompleks rumah-rumah sederhana berjajar rapi di atas rawa dengan bangunan sederhana terbuat dari papan kayu seadanya. Orang mengenalnya sebagai kompleks lokalisasi pekerja seks 'Hotel Terapung' Yeobar (baca: rawa),

Tempat itu berjarak tiga kilometer dari pusat kota. Hanya ada satu-satunya jalur menujunya, becek tak berpenerangan. Kiri-kanannya terhampar tanah kosong berupa rawa dan pemakaman adat. Melintasi jalan itu, tercium bau menyengat khas asin daerah pesisir yang memang berjarak 500 meter. Tak sembarangan orang berani melaluinya. "Kalau orang sudah masuk ke sini, pasti sudah niat untuk melampiaskan nafsunya," ujar Fransisca Nuhuyanan, seorang pendamping ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) Yayasan Santo Antonius.

Di tempat lain, satu sudut ruang temaram kelab malam di Merauke, seorang wanita duduk santai di sofa berempuk warna cokelat. Bibirnya menor, dandanannya seronok. Rose, 28 tahun, begitu ia mengaku, setiap hari harus selalu berpenampilan seperti itu. Ibarat barang dagangan yang dipajang di atas etalase. Tuntutan ini tak lain karena pekerjaannya sebagai pekerja seks di sebuah kelab malam di sudut kota di Papua. "Saya terpaksa seperti ini gara-gara suami. Dia pergi bawa perempuan lain," ucapnya.

Pekerjaan memuaskan kenikmatan sesaat banyak membuat orang lupa segalanya. Padahal entah disadari atau tak mempedulikannya, pekerjaan dan tempat seperti itu banyak menjadi sarang penyakit berbahaya. Penyakit yang bisa saja tumbuh dari para pelanggan mereka, seperti Human Immune defficiency Virus/Acquired Immune Defficiency Syndrome (HIV/AIDS) Yang belum ditemukan penawarnya hingga saat ini. Penyakit ini menggerogoti kekebalan tubuh manusia perlahan-lahan dan berakhir pada kematian. Padahal berbagai penelitian menyebutkan Papua tertinggi penularannya melalui hubungan seks.

Dwi Suparmi, 30 tahun, bukan nama sebenarnya, adalah salah satu korbannya. Kendati sudah mengidap HIV, la terpaksa terus menjalankan profesinya sebagai pekerja seks di kawasan 'Beirusak' alias Belakang Rumah Sakit. Hingga menjelang Ramadan la masih terus menerima pelanggan. Berangkat pagi dan pulang malam dini hari. "Ya saya sadar kalau saya sakit. Tapi saya butuh uang untuk bayar hutang," tutur Suparmi ketika menjawab pertanyaan Tim Aksi Stop AIDS (ASA) yang diprakarsai Family Health International (FHI) bekerja sama dengan United State Agency for International Development (USAID) pekan lalu.

Karena pekerjaannya inilah, wanita asal Klaten itu harus menanggung beban penyakit yang sangat ditakuti masyarakat. Ia mengetahui darahnya terjangkit HIV/AIDS positif ketika melakukan dua kali tes darah di rumah sakit pertengahan 1999. Sudah tiga tahun ini, ia mengidap HIV/AIDS dan selalu berusaha menyembunyikan penyakitnya dari pelanggan maupun masyarakat sekitarnya.

Namun sejak mengidap HIV/AIDS, Suparmi langsung mendapat pendampingan dari relawan Yayasan Santo Antonius (Yasanto) Merauke. Hidupnya di lokalisasi selalu diawasi dan dibimbing para relawan. Karena itulah, ia dapat menyadari bahaya penyakitnya bagi orang lain. Ada semacam ketukan nurani dari dirinya untuk berusaha menjaga agar orang lain tidak tertular penyakitnya. "Makanya biar tamu nggak tertular saya minta pakai kondom. Kalau dari mereka tidak mau pakai kondom ya saya tolak saja," ungkapnya. Makanya, dia selalu menyisihkan penghasilannya untuk membeli kondom. 'Paling cuma Rp 5 ribu saja kok, tapi orang lain nggak ketularan penyakit saya ini.

Kini Suparmi menjadi bagian dari relawan Yasanto. Ia juga berjanji akan tetap hidup di Merauke memberikan pengarahan kepada sesama pekerja seks untuk memasyarakatkan kondom. Karena kondom satu-satunya yang paling efektif mencegah penyakit akibat hubungan seks. Bahkan niat itu pernah mendorongya menolak saran untuk kembali ke kampung halaman. Selain itu, la juga trauma dengan cerita teman-temannya yang diasingkan keluarga dan tetangganya. "Nggak ada sih niat pulang ke Jawa. Nggak usahlah kasih tahu orang (keluarga), biar kita mati di sini saja," ungkapnya pasrah. Cukup tiap malam untuk mencapai harapannya itu , la selalu salat tahajud.

Melihat kondisi yang semakin memprihatinkan, Bupati Merauke John Glupe Gepze menabuh genderang perang terhadap HIV/AIDS, 'Kita nyatakan HIVIAIDS sebagai 'musuh' kita. lni keadaan darurat,' lontar Bupati berjanji kepada rakyatnya akan memerangi penyakit mematikan itu. Ini bukanlah tanggungjawab moral terhadap rakyat yang ringan.

Rencananya, pelaksanaannya akan dimulai per 1 Desember 2001 mendatang persis ketika dunia merayakan Hari AIDS. Seluruh aparat pemerintah sudah disiagakan untuk bergerak serentak bersama tokoh adat, tokoh agama dan organisasi non pemerintah. Para tokoh agama dan tokoh adat akan dititipi pesan 'sponsor' mengenai masalah HIV/AIDS dalam ceramah di tempat ibadah dan sukunya. Berbagai media massa baik cetak maupun elektronik akan dianjurkan untuk menyiarkan secara rutin tentang ancaman HIV/AIDS,

Gebrakan itu akan berlanjut dengan program kondomisasi bagi seluruh masyarakat secara besar-besaran dalam peringatan satu Abad Merauke, 12 Februari 2002 mendatang. Akan disebarkan poster dan pamflet tanda bahaya bahwa Merauke menjadi tempat tertinggi HIV/AIDS. Foto-foto para korban dipasang dengan menutup pada bagian matanya. "Ini agar orang tahu bahayanya penyakit ini. Akan saya katakan kepada mereka, ini sudah 300 orang mati di Merauke karena HIV/AIDS, apa mau ada yang menyusul?" ucapnya.

Awal November lalu, pemerintah daerah Papua memberangkatkan satu tim pemerhati HIV/AIDS ke Uganda untuk melakukan pembandingan penanganan HIV/AIDS. Negara itu dipilih karena Uganda merupakan salah satu negara yang sebagai anggota keluarga di masyarakatnya mengidap HIV/AIDS. Pemerintah di sana tengah serius menangani kasus ini.

Agar kampanye di Papua mengena pada masyarakat, komunikasi penyampaian informasi harus praktis dan mudah diterima masyarakat Cukup dalam bentuk percakapan kecil, "Eh, kitorang habis kubur jenasah. Kenapa? HIV/ADS. Oh iyokah? lyo, sapa tahu kitorang juga sudah kena kah."

Upaya Bupati cukup beralasan. Kasus di Papua tengah melonjak drastis dengan prevalensi tinggi per 100 ribu penduduknya dibanding Jakarta yang berpenduduk padat. Menurut catatan dari Dinas Kesehatan Propinsi Irian Jaya menyebutkan jumlah total penderita HIV/AIDS per 31 Oktober sebanyak 634 jiwa dengan perincian HIV 384 jiwa dan AIDS 250 jiwa. Dari total keseluruhan itu, 327 diantaranya menyebar di Kabupaten Merauke. Padahal Papua hanya memiliki penduduk sedikit, Jadi pantaslah bila Gepze keras meneriakkan penyelesaian kasus ini.

Menurut faktor risiko, kasus tertinggi melalui penularan hubungan heteroseksual sejumlah 590 jiwa. Deteksi melalui transfuse darah ditemukan 12 jiwa, kehamilan 7 jiwa, transfuse darah 3 dan 24 jiwa tidak diketahui. Sedangkan bila dilihat dari jenis kelamin yang terbanyak laki-laki mencapai 335 jiwa, perempuan 286 jiwa dan 13 tidak diketahui (waria). Jembatan penularan itu kebanyakan dalam rentang usia 15-49 tahun dengan status kewarganegaraan Indonesia 545 Iiwa dan 86 asing. Akibat penyakit ini, sudah ada sekitar 250 orang sudah masuk level AIDS dan 98 meninggal. eduardus karel dewanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar