HIV/AIDS Mencengkeram Papua
HIV/AIDS Mencengkeram Papua
Informasi dikumpulkan oleh relawan YAI
Dokumentasi Koran Tempo
Senin, 26 November 2001
Dokumentasi Koran Tempo
Senin, 26 November 2001
Bupati Merauke John Glupe Gepze menabuh
genderang perang terhadap HIV/AIDS. "Kita nyatakan HIV/AIDS sebagai
musuh kita. Ini keadaan darurat." Penderita HIV/AIDS di Papua per 31
Oktober sebanyak 634 jiwa.
Sayup-sayup dentuman musik keras
berirama disko dangdut terdengar halus bila menyusuri jalan tanah
setapak di sebuah sudut Kabupaten Merauke. Semakin mendekat, dentuman
musik itu semakin jelas meraung-raung dari dalam sebuah kompleks
rumah-rumah sederhana berjajar rapi di atas rawa dengan bangunan
sederhana terbuat dari papan kayu seadanya. Orang mengenalnya sebagai
kompleks lokalisasi pekerja seks 'Hotel Terapung' Yeobar (baca: rawa),
Tempat itu berjarak tiga kilometer dari
pusat kota. Hanya ada satu-satunya jalur menujunya, becek tak
berpenerangan. Kiri-kanannya terhampar tanah kosong berupa rawa dan
pemakaman adat. Melintasi jalan itu, tercium bau menyengat khas asin
daerah pesisir yang memang berjarak 500 meter. Tak sembarangan orang
berani melaluinya. "Kalau orang sudah masuk ke sini, pasti sudah niat
untuk melampiaskan nafsunya," ujar Fransisca Nuhuyanan, seorang
pendamping ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) Yayasan Santo Antonius.
Di tempat lain, satu sudut ruang temaram
kelab malam di Merauke, seorang wanita duduk santai di sofa berempuk
warna cokelat. Bibirnya menor, dandanannya seronok. Rose, 28 tahun,
begitu ia mengaku, setiap hari harus selalu berpenampilan seperti itu.
Ibarat barang dagangan yang dipajang di atas etalase. Tuntutan ini tak
lain karena pekerjaannya sebagai pekerja seks di sebuah kelab malam di
sudut kota di Papua. "Saya terpaksa seperti ini gara-gara suami. Dia
pergi bawa perempuan lain," ucapnya.
Pekerjaan memuaskan kenikmatan sesaat
banyak membuat orang lupa segalanya. Padahal entah disadari atau tak
mempedulikannya, pekerjaan dan tempat seperti itu banyak menjadi sarang
penyakit berbahaya. Penyakit yang bisa saja tumbuh dari para pelanggan
mereka, seperti Human Immune defficiency Virus/Acquired Immune
Defficiency Syndrome (HIV/AIDS) Yang belum ditemukan penawarnya hingga
saat ini. Penyakit ini menggerogoti kekebalan tubuh manusia
perlahan-lahan dan berakhir pada kematian. Padahal berbagai penelitian
menyebutkan Papua tertinggi penularannya melalui hubungan seks.
Dwi Suparmi, 30 tahun, bukan nama
sebenarnya, adalah salah satu korbannya. Kendati sudah mengidap HIV, la
terpaksa terus menjalankan profesinya sebagai pekerja seks di kawasan
'Beirusak' alias Belakang Rumah Sakit. Hingga menjelang Ramadan la masih
terus menerima pelanggan. Berangkat pagi dan pulang malam dini hari.
"Ya saya sadar kalau saya sakit. Tapi saya butuh uang untuk bayar
hutang," tutur Suparmi ketika menjawab pertanyaan Tim Aksi Stop AIDS
(ASA) yang diprakarsai Family Health International (FHI) bekerja sama
dengan United State Agency for International Development (USAID) pekan
lalu.
Karena pekerjaannya inilah, wanita asal
Klaten itu harus menanggung beban penyakit yang sangat ditakuti
masyarakat. Ia mengetahui darahnya terjangkit HIV/AIDS positif ketika
melakukan dua kali tes darah di rumah sakit pertengahan 1999. Sudah tiga
tahun ini, ia mengidap HIV/AIDS dan selalu berusaha menyembunyikan
penyakitnya dari pelanggan maupun masyarakat sekitarnya.
Namun sejak mengidap HIV/AIDS, Suparmi
langsung mendapat pendampingan dari relawan Yayasan Santo Antonius
(Yasanto) Merauke. Hidupnya di lokalisasi selalu diawasi dan dibimbing
para relawan. Karena itulah, ia dapat menyadari bahaya penyakitnya bagi
orang lain. Ada semacam ketukan nurani dari dirinya untuk berusaha
menjaga agar orang lain tidak tertular penyakitnya. "Makanya biar tamu
nggak tertular saya minta pakai kondom. Kalau dari mereka tidak mau
pakai kondom ya saya tolak saja," ungkapnya. Makanya, dia selalu
menyisihkan penghasilannya untuk membeli kondom. 'Paling cuma Rp 5 ribu
saja kok, tapi orang lain nggak ketularan penyakit saya ini.
Kini Suparmi menjadi bagian dari relawan
Yasanto. Ia juga berjanji akan tetap hidup di Merauke memberikan
pengarahan kepada sesama pekerja seks untuk memasyarakatkan kondom.
Karena kondom satu-satunya yang paling efektif mencegah penyakit akibat
hubungan seks. Bahkan niat itu pernah mendorongya menolak saran untuk
kembali ke kampung halaman. Selain itu, la juga trauma dengan cerita
teman-temannya yang diasingkan keluarga dan tetangganya. "Nggak ada sih
niat pulang ke Jawa. Nggak usahlah kasih tahu orang (keluarga), biar
kita mati di sini saja," ungkapnya pasrah. Cukup tiap malam untuk
mencapai harapannya itu , la selalu salat tahajud.
Melihat kondisi yang semakin
memprihatinkan, Bupati Merauke John Glupe Gepze menabuh genderang perang
terhadap HIV/AIDS, 'Kita nyatakan HIVIAIDS sebagai 'musuh' kita. lni
keadaan darurat,' lontar Bupati berjanji kepada rakyatnya akan memerangi
penyakit mematikan itu. Ini bukanlah tanggungjawab moral terhadap
rakyat yang ringan.
Rencananya, pelaksanaannya akan dimulai
per 1 Desember 2001 mendatang persis ketika dunia merayakan Hari AIDS.
Seluruh aparat pemerintah sudah disiagakan untuk bergerak serentak
bersama tokoh adat, tokoh agama dan organisasi non pemerintah. Para
tokoh agama dan tokoh adat akan dititipi pesan 'sponsor' mengenai
masalah HIV/AIDS dalam ceramah di tempat ibadah dan sukunya. Berbagai
media massa baik cetak maupun elektronik akan dianjurkan untuk
menyiarkan secara rutin tentang ancaman HIV/AIDS,
Gebrakan itu akan berlanjut dengan
program kondomisasi bagi seluruh masyarakat secara besar-besaran dalam
peringatan satu Abad Merauke, 12 Februari 2002 mendatang. Akan
disebarkan poster dan pamflet tanda bahaya bahwa Merauke menjadi tempat
tertinggi HIV/AIDS. Foto-foto para korban dipasang dengan menutup pada
bagian matanya. "Ini agar orang tahu bahayanya penyakit ini. Akan saya
katakan kepada mereka, ini sudah 300 orang mati di Merauke karena
HIV/AIDS, apa mau ada yang menyusul?" ucapnya.
Awal November lalu, pemerintah daerah
Papua memberangkatkan satu tim pemerhati HIV/AIDS ke Uganda untuk
melakukan pembandingan penanganan HIV/AIDS. Negara itu dipilih karena
Uganda merupakan salah satu negara yang sebagai anggota keluarga di
masyarakatnya mengidap HIV/AIDS. Pemerintah di sana tengah serius
menangani kasus ini.
Agar kampanye di Papua mengena pada
masyarakat, komunikasi penyampaian informasi harus praktis dan mudah
diterima masyarakat Cukup dalam bentuk percakapan kecil, "Eh, kitorang
habis kubur jenasah. Kenapa? HIV/ADS. Oh iyokah? lyo, sapa tahu kitorang
juga sudah kena kah."
Upaya Bupati cukup beralasan. Kasus di
Papua tengah melonjak drastis dengan prevalensi tinggi per 100 ribu
penduduknya dibanding Jakarta yang berpenduduk padat. Menurut catatan
dari Dinas Kesehatan Propinsi Irian Jaya menyebutkan jumlah total
penderita HIV/AIDS per 31 Oktober sebanyak 634 jiwa dengan perincian HIV
384 jiwa dan AIDS 250 jiwa. Dari total keseluruhan itu, 327 diantaranya
menyebar di Kabupaten Merauke. Padahal Papua hanya memiliki penduduk
sedikit, Jadi pantaslah bila Gepze keras meneriakkan penyelesaian kasus
ini.
Menurut faktor risiko, kasus tertinggi
melalui penularan hubungan heteroseksual sejumlah 590 jiwa. Deteksi
melalui transfuse darah ditemukan 12 jiwa, kehamilan 7 jiwa, transfuse
darah 3 dan 24 jiwa tidak diketahui. Sedangkan bila dilihat dari jenis
kelamin yang terbanyak laki-laki mencapai 335 jiwa, perempuan 286 jiwa
dan 13 tidak diketahui (waria). Jembatan penularan itu kebanyakan dalam
rentang usia 15-49 tahun dengan status kewarganegaraan Indonesia 545
Iiwa dan 86 asing. Akibat penyakit ini, sudah ada sekitar 250 orang
sudah masuk level AIDS dan 98 meninggal. eduardus karel dewanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar